Merdi Sihombing, desainer berdarah Batak, baru-baru ini merayakan 25 tahun perjalanan karyanya di dunia fesyen. Dalam dua dekade lebih itu, ia tak hanya konsisten meluncurkan koleksi, tetapi juga berkomitmen pada keberlanjutan melalui pemilihan material, pewarnaan alami, dan teknik tenun tradisional.
Merdi, yang merupakan lulusan Ilmu dan Desain Mode, memiliki hasrat untuk menafsirkan kembali tekstil tradisional dan pewarnaan alami dalam mode kontemporer. Terinspirasi oleh budaya Bataknya, ia menggabungkan keahlian tradisional dengan desain modern, menciptakan karya yang merayakan warisan budaya Batak sambil tetap berinovasi.
Sejak memulai kariernya, Merdi telah memiliki kedekatan khusus dengan masyarakat desa, bekerja sama untuk menciptakan kain tenun menggunakan pewarna alami berbahan dasar biodiversitas Indonesia. Ia mengakui bahwa banyak orang meragukan pewarnaan alami karena dianggap kurang cerah, namun ia membuktikan sebaliknya.
BACA JUGA: Museum Nasional Indonesia Segera Hadirkan Pameran Fesyen Berkelanjutan
“Tapi Anda lihat semua karya saya. Warna-warnanya bisa cerah dan itu semua diwarnai secara alami. Alam kita luar biasa hebatnya. Jadi, saya berharap industri ini juga mulai menyadari dan bisa mengeksplorasi agar industri fashion Indonesia bisa lebih berkelanjutan,” ujar Merdi.
Pameran The Flying Cloth, di Museum Nasional, menjadi penanda penting dalam perjalanan hidupnya selama 25 tahun. Pameran ini menggabungkan berbagai pelajaran dan cerita dari komunitas-komunitas yang ia temui selama perjalanan kariernya.
“Setiap kain, motif, dan warna yang ada di sini bukan hanya hasil kreativitas, tetapi juga warisan yang kami pelihara dan hargai bersama. Dalam setiap lembar kain yang kami tampilkan, ada cerita tentang pelestarian, kebanggaan budaya, dan upaya untuk menghadirkan fashion yang tidak merusak alam,” tambahnya.
Lebih dari sekadar perjalanan profesional, 25 tahun Merdi di industri fesyen adalah kisah tentang ikatan emosional yang ia bangun dengan para pengrajin dan perempuan di desa-desa terpencil yang setia menjaga tradisi.
Dari Mentawai, Sumatra Barat, hingga Wamena, Papua, melalui Yayasan Merdi Sihombing dan Eco Fesyen Indonesia, ia menggali dan membawa warisan leluhur ke dalam karya-karya kontemporer yang tetap menghormati nilai budaya.
Karya Merdi Sihombing Berhasil Memukau Dunia
Merdi Sihombing juga berhasil memukau dunia dengan menampilkan koleksinya di panggung-panggung fesyen bergengsi, seperti New York Fashion Week dan London Fashion Week.
Karya-karyanya yang mengusung keindahan wastra Nusantara dan semangat keberlanjutan mendapat apresiasi luar biasa di berbagai belahan dunia. Termasuk Kanada, Australia, Bangladesh, dan India. Keberhasilannya ini membuktikan kekuatan kreativitas dan relevansi budaya lokal di kancah mode internasional.
Merdi memiliki visi besar untuk menjadikan Indonesia sebagai pusat mode bagi masyarakat adat, atau indigenous fashion, di panggung dunia. Ia percaya Indonesia memiliki kekayaan budaya yang luar biasa. Dengan masyarakat adat yang begitu beragam, masing-masing menyimpan potensi besar yang belum tergali sepenuhnya.
“Dari ujung barat hingga timur Nusantara, tiap suku memiliki warisan tekstil dan seni hias yang unik. Ini dapat kita perkenalkan dan kita persembahkan kepada dunia,” tambahnya.
Dengan warisan keahlian lokal turun-temurun dan visi untuk mode yang berkelanjutan, Merdi yakin bahwa Indonesia tidak hanya mampu merayakan keragaman budayanya. Menurutnya, Indonesia juga berpotensi untuk menjadi pusat ekspor fashion berbasis nilai-nilai lokal.
Bagi Merdi, langkah ini lebih dari sekadar industri dan estetika. Namun, ini tentang membawa identitas dan kebanggaan budaya Indonesia ke tingkat global. Bahkan, ia mengajak dunia untuk lebih menghargai dan memahami nilai luhur dari indigenous fashion Indonesia.
Sajikan Visual yang Kreatif
Dengan sentuhan artistik dari Heri Pemad sebagai art director dan Ignatia Nilu sebagai kurator, pameran The Flying Cloth mempersembahkan perjalanan kreatif Merdi yang begitu lengkap. Mereka menggabungkan sajian visual, auditif, diorama, dan elemen interaktif.
Koleksi wastra yang mereka tampilkan dalam pameran ini adalah hasil re-inventing kain tradisional dari berbagai daerah di Nusantara, yang memadukan inovasi benang, pewarnaan alami, serta teknik tenun, sulam, songket, dan manik-manik dengan sentuhan budaya yang kaya.
Instalasi tersebut juga menghadirkan elemen-elemen simbolis dari berbagai wilayah. Bahkan, terdapat bahan-bahan unik yang mencerminkan keindahan dan keunikan setiap daerah yang menjadi inspirasi Merdi.
BACA JUGA: Wajah Baru Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia
Motif-motif khas juga ia presentasikan melalui fotografi. Kemudian, memadukannya dengan berbagai program menarik yang menggabungkan unsur fesyen, teknologi media, seni pertunjukan, seni tradisional, dan wearable art.
Selain itu, Merdi juga menyadari bahwa industri kain tenun di Indonesia perlahan mulai kehilangan perhatian. Beberapa kain yang ia angkat, seperti dari Tanah Karo, merupakan upaya untuk melestarikan kebudayaan yang hampir punah.
“Di Karo, penenun tradisional sudah punah. Jadi, cara saya melestarikan kebudayaan tenun Karo adalah dengan mengangkat ide dasarnya, yaitu teknik celup. Dulu, semua kain ditenun terlebih dahulu, lalu diproses dengan teknik celup untuk pewarnaannya. Karena penenun di sana sudah tidak ada, kain yang mereka gunakan adalah kain jadi. Namun, teknik pewarnaannya tetap menggunakan teknik celup yang sama, seperti dalam tradisi budaya Batak Karo,” ujar Merdi.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia