Jika berbicara tentang benua Afrika, hal pertama yang mungkin terlintas di benak sebagian besar orang adalah bencana kekeringan dan kelaparan. Namun, siapa yang menyangka bahwa sesungguhnya beberapa negara di benua hitam ini memiliki potensi besar dalam dunia mode?
Diantaranya ada Malawi, sebuah negara di bagian tenggara yang terkenal dengan danaunya yang disebut oleh UNESCO sebagai salah satu situs warisan dunia. Tidak jauh dari ibukotanya, Lilongwe, berdirilah sebuah produsen busana dan aksesoris yang beretika, Mayamiko.
Dengan menonjolkan warna-warna berani khas Afrika seperti oranye, kuning, biru muda, hitam dan merah, Mayamiko menawarkan barisan busana seperti atasan, gaun, celana, jaket, dan rok. Selain itu, hampir seluruh desain gambar pada pakaian Mayamiko berupa pola batik dan chitenje (baca kitenge). Seperti halnya batik di Indonesia, chitenje merupakan kain tradisional khas benua Afrika terutama di negara Malawi, Tanzania dan Kenya.
Meskipun potongan dan detil dan fitur busananya sederhana, desain pakaian Mayamiko justru terlihat mewah. Uniknya, Mayamiko hanya memproduksi 10 hingga 15 potong busana dalam satu kategori sehingga terasa eksklusif.
“Kami percaya bahwa produksi yang beretika seharusnya tidak mengorbankan kualitas dan desain produk, namun justru menambah nilai dan keunggulannya. Kami memproduksi barang berkualitas tinggi yang unik ke pasaran,” tulis Mayamiko di laman resminya. Sementara itu, aksesoris yang disediakan Mayamiko adalah elemen fesyen seperti totebag, clutch, tas punggung, tas selempang, syal tenun, ikat rambut dan peralatan rumah tangga seperti sarung bantal.
Didirikan oleh seorang aktivis sosial, Paola Masperi, pada tahun 2013, Mayamiko menghasilkan produk fesyen dengan mengedepankan kesejahteraan karyawannya. Di laman resminya, Mayamiko menguraikan standar etika dalam proses produksinya.
“Mayamiko berkomitmen untuk memproduksi secara etis. Kami mematuhi prinsip-prinsip Ethical Trade Initiative (ETI) sebagai bagian dari kode etik kami. Standar etika kami meliputi tidak adanya kerja paksa, pekerja anak-anak, diskriminasi, jam kerja yang berlebih, perlakuan kasar atau tidak manusiawi,” tulis Mayamiko.
Mayamiko juga menyatakan bahwa mereka mengusung adanya kebebasan berserikat dan musyawarah, kondisi kerja aman dan higienis, upah yang sesuai, makanan bergizi setiap hari, peningkatan keterampilan, dukungan untuk mendirikan usaha mandiri dan koperasi, pendidikan keuangan dan akses pinjaman, serta skema pensiun dan uang pesangon.
Selain melakukan produksi, produsen fesyen ini juga bergerak dalam pemberdayaan wanita. Misalnya untuk membuat busana dan aksesorisnya, Mayamiko bekerja sama dengan koperasi wanita setempat dalam perolehan bahan tekstil dari pasar lokal di Malawi.
Di samping itu, koleksi yang diproduksi Mayamiko memegang prinsip zero waste. Hal ini dilakukan melalui desain garmen yang efisien dan teknik pemotongan pola dengan penggunaan bahan kain sebanyak 90-100% sehingga tidak ada kain sisa.
Paola Masperi juga membentuk Malawi Cotton Project. Proyek ini dibentuk untuk menyediakan pelatihan, pendidikan, nutrisi, kebersihan dan mempromosikan praktik perdagangan yang berkeadilan. Proyek ini juga menyediakan pelatihan menjahit bagi warga lokal dan perempuan yang terinfeksi HIV atau mereka yang merawat penderita HIV.
Penulis: Ayu Ratna Mutia