Maya Hikmatin menciptakan merek Lepas Wear sebagai medium untuk orang-orang agar dapat belajar tentang makna letting go. Dia menggunakan pakaian sebagai instrumen agar masyarakat dapat memaknai pakaian lebih dari sekadar pelindung tubuh. Simak lebih dalam berikut ini!
Di era serba cepat ini, kita cenderung untuk bergantung pada gawai kita. Ada perasaan takut akan ketinggalan informasi, hingga membuat sebagian besar orang tidak bisa lepas dari media sosial. Perasaan Fear of Missing Out (FOMO) atau takut tertinggal ini pun merambah ke industri fast fashion.
Merek-merek pakaian begitu cepat berganti model, membuat orang-orang menjadi tergoda untuk terus belanja pakaian agar tidak mengenakan busana yang ketinggalan zaman. Keterikatan ini padahal berdampak luar biasa buruk bagi lingkungan, yang nantinya juga menjadi imbas bagi manusia.
Maya Hikmatin, menciptakan merek Lepas Wear dengan tujuan menyediakan medium untuk orang-orang agar dapat belajar tentang makna letting go atau melepaskan.
Ia menggunakan pakaian sebagai instrumen agar orang-orang dapat memaknai sandang lebih dalam. Tidak hanya sekadar melindungi tubuh manusia, tetapi bahan pakaian juga harus aman untuk manusianya itu sendiri.
“Jadi bagaimana supaya Lepas ini bisa menjadi doa agar semua orang bisa lebih mudah melepaskan segala ke-melekat-an di dalam dirinya. Lepas ini sebenarnya bukan fashion brand. Tetapi dalam perjalanannya, kami menggunakan pakaian sebagai kendaraannya,” tutur Maya dalam webinar ‘Are You Being Greenwashed?’ yang Project Planet selenggarakan Minggu, (14/03/2021).
Merek yang berdiri di Bandung tahun 2019 ini lahir karena perjalanan Maya yang mempelajari self-healing. Ia meyakini bahwa perbuatan baik terhadap alam semesta dan sesama manusia harus bermula dari diri sendiri terlebih dulu. Ini memengaruhi produksi Lepas Wear yang memilih bahan yang lebih natural, aman, dan nyaman bagi tubuh.
Macam-macam Produk Lepas Wear
Produk-produk yang Lepas Wear jual terdiri dari pakaian, notebook, postcard, pouch – yang produksinya menggunakan kain-kain sisa produksi pakaian, tas-tas kain, dan juga kolaborasi makanan sehat berbasis tumbuhan.
“Kita punya impian dari setiap barang yang nanti Lepas produksi itu bisa delivery setiap nilai-nilai kebaikan atau persepsi yang lebih baik dalam memaknai kehidupan. Kami menyebutnya dengan berkarya dalam berkesadaran,” ujar Maya.
Program Berkelanjutan Lepas Wear
Lepas Wear memiliki program berkelanjutan yaitu pemberdayaan jasa penjahit rumahan sebagai partner untuk membuat produk-produk mereka. Tak hanya itu, kemasannya juga bebas plastik.
“Kami menggunakan tas kain supaya bisa lebih long term dipakainya, lebih bisa bermanfaat nantinya oleh teman-teman yang sudah membeli barang kami,” kata Maya.
Merek ini juga mendukung brand yang ingin melakukan upcycling dari kain sisa produksi mereka. Sokongan ini mereka berikan dengan mengumpulkan sisa kain perca, dan membantu memilah sesuai jenis bahan dan warna kainnya, supaya mempermudah proses upcycling.
Mereka memiliki prinsip untuk mengeluarkan maksimal 3 koleksi dalam 1 tahun, dengan jumlah per musimnya maksimal 200 pakaian. Mereka ingin benar-benar melakoni slow living dan slow fashion dengan menekan phase dalam produksi produknya.
“Fashion membuat kita impulsif dan konsumtif; dengan segala perubahan modenya, kami belajar untuk mengurangi itu. Kami tahu rasa bosan menggunakan pakaian itu kan sangat-sangat banyak godaannya. Jadi ini adalah tanggung jawab Lepas sebagai sebuah brand, untuk menawarkan sesuatu yang jadi langkah nyata; untuk mengajak konsumennya untuk tidak konsumtif,” jelas Maya.
Kriteria Sustainable Fashion
Dalam webinar tersebut, Maya menjelaskan apa-apa saja yang biasa menjadi unsur fesyen berkelanjutan. Ada 3 poin yang ia jabarkan, yaitu eco-fashion, slow fashion, dan ethical fashion. Kalau eco fashion, brand memikirkan bagaimana bahan yang mereka pakai berdampak bagi lingkungan.
Slow fashion, menekan phase, lebih mindful dalam berbelanja dan kebutuhan berpakaian. Lalu ethical fashion, yang mengutamakan atau sadar dalam keadilan membayar pegawainya, memperhatikan kesehatan pekerjanya. Jadi merek memikirkan mereka yang terlibat di dalamnya itu benar-benar sejahtera.
“Ketika sebuah brand memiliki ketiga aspek ini, maka biasanya dia disebut sustainable fashion,” ucap Maya.
Baca juga: Pable, Beri Kesempatan Kedua bagi Kehidupan Pakaian
Greenwashing dalam Industri Fesyen
Namun saat ini, ada beberapa merek yang sekadar mengklaim bahwa perusahaannya adalah conscious atau sustainable brand. Inilah yang disebut dengan greenwashing, di mana jenama mengaku-ngaku bahwa produknya ramah lingkungan tetapi tidak menyertakan bukti yang bertanggung jawab.
“Secara klaimnya dia bilang bahwa dia adalah brand yang berkelanjutan, tetapi masih melakukan mass production atau fast fashion. Bahannya diklaim natural namun secara kualitas dan ketahanan buruk, atau yang nantinya malah memperbanyak sampah karena tidak tahan dipakai. Lalu gembar-gembor jargon misalkan membeli produk kami artinya kalian cinta dunia atau kalian peduli pada climate change tetapi tanpa diikuti walk the talk oleh brand sendiri,” kata Maya.
Maya menambahkan, melabeli diri sendiri atau brand dengan ‘keberlanjutan’ adalah tanggung jawab yang luar biasa.
“Lepas sendiri menghindari sekali untuk melabelkan kami adalah sustainable brand atau conscious brand. Tetapi pada perjalanannya, kami dianggap seperti itu. Biarkan orang atau konsumen melihat tindakan nyata kita dalam berlaku karya dan berlaku bisnis sehingga nanti mereka yang akan merangkum atau mengasumsikan persepsi mereka sendiri siapa kalian, siapa brand kalian,” ungkap Maya.
Penulis: Agnes Marpaung
Sumber: