Jakarta (Greeners) – Kiprah perancang muda Lenny Agustin dalam dunia fashion Indonesia patut diapresiasi. Perempuan yang dikenal kerap menggunakan tenun dalam rancangannya ini tidak hanya memiliki kepedulian pada potensi budaya Indonesia, tetapi juga terhadap sustainable fashion.
“Dari dulu aku suka disebut ‘pemulung elit’ sama teman-teman karena aku cenderung enggak membuang sampah. Waktu aku kuliah, aku suka memanfaatkan barang-barang yang terbuang, misalnya kabel telepon atau apapun itu. Saya manfaatkan itu untuk tugas kuliah,” ujar Lenny membuka cerita kepada Greeners usai pagelaran busana terbarunya bertajuk “Borneo Off Beat” beberapa waktu lalu.
Atas kepeduliannya ini, Lenny sempat didaulat oleh salah satu produk perawatan kecantikan terkemuka yang peduli lingkungan untuk membuat karya fashion dengan memanfaatkan barang-barang bekas.
Menurut Lenny, material fashion tidak terbatas pada bahan yang biasa dipakai. Mengolah bahan-bahan yang terbuang atau berinovasi menciptakan bahan baru dapat dilakukan seorang desainer untuk meningkatkan hasil karyanya.
“Waktu gas elpiji menggantikan kompor minyak sehingga sumbu kompor banyak yang terbuang di pasar, aku ambil sumbu-sumbu kompor itu. Aku suka reuse, recycle, dan upcycle menggunakan barang yang sudah tidak terpakai menjadi sesuatu yang bisa dipakai,” katanya.
Lenny pun pernah berinovasi dengan membuat kain dari tepung singkong dan menjahitnya menjadi pakaian. Koleksi pakaian ini lantas dibuatkan pameran oleh kedutaan Perancis dan dibawa keliling dunia bersama dengan rancangan 50 desainer dari berbagai negara.
Desaigner yang gemar mengubah warna rambutnya ini mengatakan bahwa industri fashion sedang mencoba untuk mulai melakukan perubahan menuju sustainable fashion atau fashion yang berkelanjutan. Hal ini ditandai dengan penelitian yang dilakukan beberapa pabrik tekstil untuk mencari pewarna sintetis yang seramah mungkin dengan lingkungan.
“Biasanya menggunakan cairan kimia untuk melengketkan warna. Tapi sekarang, diproses dengan air saja sudah bisa dan waktu dibuang itu tidak menjadi limbah. Kita harus update mengenai masalah ini,” katanya.
Menjadi seorang perancang busana atau fashion designer, lanjut Lenny, harus terbuka dengan teknologi baru namun tidak melupakan unsur keberlanjutan. “Kita sebagai fashion designer berusaha ‘mengonsumsi’ bahan-bahan yang ramah lingkungan. Gerakan ini sudah mulai ada tapi butuh waktu,” ujarnya.
Ia pun berpesan agar para perancang busana Indonesia dapat menjadi contoh untuk konsumennya dalam hal keberlanjutan. “Mereka harus lebih kreatif, memperhatikan lingkungan, lebih banyak bereksperimen untuk menghasilkan karya yang sustainable,” pungkasnya.
Penulis: Renty Hutahaean