Kasus Bunuh Diri pada Usia Muda Lebih Tinggi, Apa Penyebabnya?

Reading time: 2 menit
Pada masa pandemi, banyak terjadi kasus bunuh diri yang bermunculan di media sosial. Foto: BRIN
Pada masa pandemi, banyak terjadi kasus bunuh diri yang bermunculan di media sosial. Foto: BRIN

World Health Organization mencatat kasus bunuh diri terjadi lebih dari 800 ribu per tahun. Sedangkan menurut data box terdapat 921 kasus. Kasus bunuh diri paling tinggi terjadi terjadi pada usia muda.

Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Kesehatan Masyarakat dan Gizi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Fauzia Wardhani mengungkapkan bahwa pada masa pandemi banyak terjadi kasus bunuh diri yang bermunculan di media sosial. Ia juga mengumpulkan informasi kasus bunuh diri sejak tahun 2012 hingga 2023. Dari seluruh informasi tersebut, angka tertinggi kasus bunuh diri sebagian besar terjadi di usia produktif remaja dan dewasa.

“Untuk usia remaja, kasus bunuh diri terjadi karena tekanan akademis, sosial, harapan-harapan tinggi untuk lebih berprestasi dan berkompeten di bidang akademik, perubahan hormon, emosi, permasalahan keluarga,” kata Yurika dalam webinar bertajuk “Fenomena Banyaknya Kasus Bunuh Diri pada Usia Produktif, Apa yang Terjadi?”, Kamis (25/7).

Maraknya bullying, cyber bullying, pengaruh media informasi bebas, dan kurangnnya dukungan kepada para remaja dapat meningkatkan risiko perilaku bunuh diri. Begitu pula, lanjut Yurika, dengan usia dewasa yang tidak berbeda penyebabnya dengan remaja.

BACA JUGA: 4 Manfaat Membacakan Buku pada Anak Usia Dini

Kelompok usia lain yang sedikit terabaikan, namun angkanya tinggi adalah lansia dan manula. Angka bunuh diri yang tinggi ini menjadi bahan perhatian seperti ada kasus bunuh diri pada usia 90 tahun.

“Ada beberapa hal yang mendorong untuk melakukan bunuh diri di usia lansia dan manula, yaitu kesehatan mental, rasa kesepian, penyakit menahun, dan akses meminta pertolongan terhambat,” ungkap Yurika.

Angka Bunuh Diri pada Laki-laki Lebih Tinggi

Dia juga menguraikan, berdasarkan jenis kelamin, laki-laki mempunyai angka bunuh diri yang tinggi. Karena norma sosial terhadap gender laki-laki sangat memengaruhi budaya Indonesia adalah budaya patriaki “laki-laki lebih tegar”.

Cara bunuh diri yang dilakukan antara lain minum racun, menembak diri, menabrakkan diri ke kendaraan, membakar diri, melukai diri dengan alat, meledakkan bom, lompat ke daerah air, lompat di daratan, dan gantung diri.

“Solusi agar terhindar dari bunuh diri yaitu meningkatkan kesadaran dan pendidikan, pelayanan kesehatan mental yang lebih baik, pelatihan dan dukungan untuk keluarga dan komunitas, bekerja sama dengan instansi-instansi terkait untuk membuat suatu program pencegahan bunuh diri, penelitian dan data serta pencatatan yang rapi dan tersentral yang bisa di akses oleh lembaga yang berkepentingan,” tuturnya.

Penting Pahami Faktor Penyebab Bunuh Diri

Kepala Organisasi Riset Kesehatan BRIN NLP Indi Dharmayanti mengungkapkan, bunuh diri tidak hanya memengaruhi individu, tetapi juga keluarga, lingkungan kerja, dan masyarakat luas.

“Kehilangan seseorang di usia produktif berarti kehilangan potensi dan kontribusi bagi pembangunan bangsa. Oleh karena itu, pencegahan bunuh diri adalah tanggung jawab bersama,” tegas Indi.

BACA JUGA: Baby Blues Syndrome: Penyebab, Gejala, dan Cara Mengatasinya

Menurutnya, penting untuk memahami faktor-faktor penyebab bunuh diri, mulai dari tekanan ekonomi, masalah kesehatan mental, hingga kurangnya dukungan sosial. Pemahaman yang lebih baik dapat mengembangkan strategi pencegahan yang efektif.

“Selain intervensi medis dan psikologis, pendekatan holistik yang mencakup pendidikan, kampanye kesadaran, dan kebijakan pendukung kesehatan mental sangat penting,” ungkapnya.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top