Jakarta (Greeners) – Dengan kecanggihan teknologi saat ini, bukan hal yang sulit untuk mencari brand yang menghadirkan keramahan pada alam dalam produk mereka. Para pengusaha lokal berusaha memberikan opsi terbaik demi terciptanya konsumen yang berkesadaran. Juga, dengan beberapa tujuan lainnya yaitu menekan limbah pakaian di Indonesia.
Salah satu brand lokal, Bernama Jivaloka juga berusaha untuk mengambil peran dalam usaha tersebut. Elisa Lubis mendirikan Jivaloka pada tahun 2019, berasal dari Bahasa sansekerta, makna Jivaloka sendiri merupakan “Makhluk Hidup” atau “Dunia”.
Jivaloka hadir sebagai brand yang membawa budaya lokal, yaitu seni tenun seperti tenun gedog dan tekstil tradisional Indonesia terutama di Pulau Jawa. Selain itu, berdasarkan kepedulian akan kelestarian lingkungan, membuat Jivaloka sangat mengutamakan bahan material alami dalam proses pengolahan produk-produknya.
Elisa menyebut, fokus produksi Jivaloka saat ini berada di daerah Tuban. Menurutnya, Tuban merupakan satu-satunya daerah di Jawa yang masih melestarikan kapas lokal sebagai bahan baku utama dalam kebutuhan sandang mereka.
“Masyarakat di Tuban mereka itu yang masih melakukan praktek sustainability dari hulu ke hilir dalam pembuatan sandangnya. Jadi, dari bahan bakunya itu kapas ditanam sendiri oleh petani lokal, lalu kemudian dipintal menjadi benang dan benang itu mereka tenun menjadi sehelai kain,” jelas Elisa Lubis kepada Greeners, Rabu (25/08/2021).
Praktik Slow Production Pada Proses Produksi
Brand yang berasal dari Jogjakarta ini, memproduksi barang-barang peralatan dan kebutuhan rumah tangga seperti table runner, throw, selendang, sarung bantal, dan tas simpul. Produk-produk tersebut berupa tenun gedog yang dikerjakan dengan tangan oleh pengrajin di Tuban. Mereka juga memproduksi sayut yang merupakan selendang panjang batik khas Tuban dengan motif khas pesisir yang terpengaruh dari budaya Tiongkok.
Dalam praktik produksinya, Jivaloka menerapkan praktik slow production. Sebagai tambahan informasi slow production adalah bagaimana suatu merek memperhatikan pemilihan bahan baku yang akan mereka gunakan. Mengutamakan kesejahteraan pengrajin dan menimbang efek yang akan alam terima. Serta, dengan teknik produksi yang menggunakan tangan-tangan pengrajin, sehingga kualitas produk tetap terjaga.
“Kita menggunakan bahan material yang hampir keseluruhan tuh alami nggak mengandung kimia,” ujar Elisa.
Slow production juga tidak berorientasi pada kecepatan waktu produksi dan pergantian model produk. Sebagai bahan utama, mereka menggunakan kapas yang ditanam sendiri, kapas tersebut membutuhkan waktu untuk siap panen dalam kurun waktu 4 bulan. Setelah itu, tahapan berlanjut hingga menjadi kain yang memakan waktu 1 bulan. Sehingga, dalam kurun waktu 1 bulan Jivaloka hanya memproduksi 5 hingga 10 potong kain.
“Proses pembuatannya itu memakan waktu yang cukup lama, karena pengerjaannya cukup panjang. Untuk kapas menjadi selembar kain kayak gitu ada sekitar 17 tahapan yang dilalui,” katanya.
Jivaloka Ramah dengan Alam dan Sosial
Elisa melanjutkan, kapas tersebut ditanam pada lahan sawah tadah hujan. Sehingga, tidak terlalu banyak menggunakan air dalam proses perawatannya.
“Kapasnya itu mereka tanam di lahan sawah tadah hujan, pengairannya mengandalkan air hujan dia tidak rakus air, jadi maintenancenya juga mudah gitu,” lanjutnya.
Selain menggunakan kapas lokal sebagai bahan dasar benang, Jivaloka juga menggunakan pewarna alami dari tumbuhan. Warna biru berasal dari Indigofera tinctoria, warna terracotta dari Tingi, kuning dari Jolawe, hijau campuran dari Jolawe dan indigo. Elisa menegaskan bahwa seluruh proses pewarnaan menggunakan bahan alami dan celup tangan.
Lebih jauh, ia juga menjelaskan alasannya mengapa memilih bahan-bahan alami untuk produk Jivaloka. Menurutnya hal itu penting untuk produsen perhatikan, tidak hanya menjaga alam tapi juga menjaga kesehatan pengrajin yang memproduksinya secara langsung.
“Ini berangkat dari kepedulian aku akan kelestarian dan keberlanjutan lingkungan. Itu juga kaitannya sama kesehatan orang-orang yang terlibat dalam proses produksi, kalau kita nyelupnya itu pakai pewarna sintetis itu kan membahayakan kesehatan, lalu juga limbah cair nya itu juga merusak lingkungan juga kan,” tutur Elisa.
Menggunakan bahan-bahan alami juga dapat menambah kualitas produk, sehingga dapat menjadi produk investasi dalam jangka panjang.
“karena terbuat dari katun lokal ya tenun tangan benang pintal jadi punya daya tahan yang cukup bagus,” ucapnya.
Penulis: Zahra Shafira