Cerita kesuksesan swa sembada pangan yang pernah terjadi di masa pemerintahan Presiden Soeharto di era 1980-an ternyata masih terasa hingga sekarang. Walau bentuknya bukan limpahan beras yang mudah didapat masyarakat, namun sisa-sisanya tetap saja masih terasa di sebagian kelompok masyarakat. Apa itu?
Jika Anda pergi ke kawasan Indonesia bagian Timur, disana ada sejumlah kawasan yang punya cerita kontras tentang masa lalu dan masa kini. Masa lalu saat beras begitu mudah didapat dengan harga sangat terjangkau dan masa kini yang berbalik sangat jauh. Walaupun, beras masih bisa didapat, namun dengan harga tidak terjangkau.
Di Kecamatan Lembor, Kabupaten Manggarai, Provinsi Nusa Tenggara Timur misalnya. Disana ada seorang perempuan tangguh bernama Rofiah yang dijuluki pejuang pangan lokal oleh organisasi nirlaba Oxfam.
Rofiah bercerita, pada 1983 silam atau sekitar 30 tahun lalu, warga di kampungnya masih terbiasa bercocok tanam umbi-umbian dan berkebun jagung sebagai komoditas utama pertanian. Namun, tidak lama berselang saat itu pemerintah gencar membagikan benih padi gratis untuk ribuan hektare lahan kepada para petani. Hasilnya, semuanya serentak beralih ke pertanian sawah.
Meski di tahun pertama warga sukses mendapat hasil panen yang melimpah, namun secara perlahan mereka mulai diserang berbagai masalah seperti hama yang membuat hasil panen menurun. Puncaknya, di tahun kelima, para petani mulai merasakan gagal panen dan berdampak pada penurunan kualitas hidup hingga terjadilah bencana kelaparan.
***
Cerita Rofiah tersebut cukup menjadi gambaran betapa revolusi pangan hijau yang dicanangkan pemerintah saat itu justru berdampak buruk hingga menimbulkan masalah sosial baru. Untuk pembelajaran di masa kini, semua pihak harus sama-sama menyadari bahwa konsep budidaya pangan yang sukses itu tidak harus disamaratakan antara satu daerah dengan daerah yang lain.
Menurut Nazla Mariza, Campaign and Advocacy Coordinator Oxfam, jika kesadaran itu tidak tumbuh dan diperbaiki, ancaman kesulitan pangan akan semakin besar dirasakan oleh masyarakat yang sebenarnya berstatus produsen pangan lokal.
“Mereka tersebar di seluruh Indonesia. Ada yang petani atau nelayan. Mereka semua harus paham bahwa memenuhi pangan sendiri itu harus dilakukan dengan tangan mereka sendiri dan dengan cara yang benar. Itu namanya kampanye keadilan pangan,” ujar Oxfam saat diwawancara Greeners.
Nazla kemudian menjelaskan, pentingnya memberi pemahaman kepada para produsen pangan lokal seperti petani atau nelayan, karena memang posisi mereka sangat penting untuk memasok ketersediaan pangan di daerahnya. Dia mengulas hasil riset sebuah lembaga survei yang menyebutkan, dari 1 miliar orang kelapara di dunia ini, 70 persen diantaranya adalah produsen pangan lokal.
Jika itu bisa diwujudkan, Nazla optimis produsen pangan lokal benar-benar akan menjadi tuan rumah di daerahnya sendiri. Mereka tidak hanya sekedar memproduksi pangan, tapi juga memasarka dan sekaligus mengonsumsinya.
Dia menambahkan, selain fokus pada kampanye produksi pangan lokal dan desa membangun, dia juga ingin memberdayakan seluruh perempuan yang ada di masing-masing daerah untuk ikut berpartisipasi. Dia yakin, perempuan memegang peranan penting dalam penciptaan rantai produksi pangan.
“Perempuan itu berperan besar. Mereka memproduksi, memanen dan ikut memasarkan. Jadi, perempuan harus terlibat dalam kampanye ini,” ujar Nazla.