Sobat Greeners, apa hal yang pertama kalian pikirkan ketika mengingat karung goni? Biasanya, karung goni identik sebagai tempat untuk menyimpan sesuatu karena sifatnya kuat dan tidak mudah rusak. Namun, rata-rata jangka waktu pakainya hanya sebentar. Setelah pemakaian, umumnya karung goni bekas akan berakhir menjadi sampah.
Melihat hal itu, Andreas Bimo Wijoseno membuat inovasi dari karung goni yang ia beri nama Gunagoni. Menurutnya karung goni memiliki sifat sangat mudah terurai di lingkungan. Ia pun ingin menciptakan sesuatu yang bernilai lebih dari bahan serat alami tersebut. “Lama-lama kayak, masa ngga bisa dibuat sesuatu. Coba deh diotak-atik lagi,” ucap Bimo kepada Greeners, Kamis (08/07/2021).
Bahan yang Ramah dengan Alam
Bimo bercerita, pada awalnya ia menggunakan karung goni bekas sebagai bahan utama produksi karena keunikan dan ketahanannya. Sampai akhirnya, ia menyadari bahwa karung berwarna cokelat itu merupakan bahan yang ramah dengan alam. “Barang ini (goni) umurnya panjang dan sudah selaras dengan alam, ngga usah dianeh-anehin,” katanya.
Untuk mengimbangi bahan karung Goni yang dapat terurai dengan baik, Bimo menggunakan semua bahan yang dapat terurai pula secara alami. Sehingga apabila produknya sudah rusak, mereka dapat terurai secara alami tanpa ada yang tertinggal.
“Kalau misalnya memang akhirnya sudah lelah sudah koyak dan tidak bisa dipakai lagi, kalau dibuang dia terurai semua di tanah, setali-talinya, tidak ada yang tertinggal, sekancing-kancingnya makanya saya kasih kancing batok dan bisa terurai dan bisa jadi pupuk lah,” ujarnya.
Goni Bekas Berarti lagi
Dengan alat jahit sederhana, Bimo memperpanjang umur pakai goni bekas. Hal tersebut juga sesuai dengan motto yang ia ciptakan untuk Gunagoni, yaitu goni bekas berarti lagi. Ia mengubahnya menjadi tas, topi, hingga dompet. Produknya pun tersedia dalam berbagai ukuran.
Gunagoni merupakan kreasi rumahan. Dalam proses produksinya, istri dan kedua anak Bimo turut membantunya. Untuk membuat barang-barang tersebut, Bimo tidak memakai segala jenis mesin yang kompleks.
Ia menjelaskan, sebelum masuk tahap produksi, karung goni bekas harus melewati beberapa tahapan terlebih dahulu. Misalnya, seperti proses pembersihan, lalu pengeringan selama kurang lebih tiga hari menggunakan energi matahari. Setelah itu Bimo sendiri yang membuat pola dan menjahitnya.
Model goni olahan Bimo memiliki ciri khas sendiri. Ia sengaja tidak mengubah atau menambahkan warna pada produknya sehingga modelnya masih dalam bentuk asli. Untuk sentuhan terakhir, produk Gunagoni hanya menggunakan aksesori dari bahan logam. Cara itu ia lakukan karena Bimo tidak ingin menghasilkan sampah plastik dalam proses produksinya.
“Paling kalau ada yang bolong saya tambal. Terus saya ngga kasih lapisan dalam nanti nambah bahan baru, tapi saya kasih goninya dua lapis. Jadi sebisa mungkin tidak menambah sampah baru,” kata dia.
Dalam pemilihan bahan pendukung seperti benang, kancing, dan tali, Bimo juga menggunakan bahan yang sudah tidak terpakai kembali. Misalnya, sisa kulit sepatu untuk kancing dan benang dari sisa celana jeans.
Meskipun terdiri dari beberapa barang bekas pakai, Gunagoni memperlihatkan sisi guna yang lain dari karung bekas. Bimo menuturkan banyak konsumen yang memberikan apresiasi ketika mengetahui produknya selaras dengan alam.
Penulis: Zahra Shafira
Baca juga: Gunagoni, Karung Goni yang “Naik Kelas”