Tragedi runtuhnya Rana Plaza di Bangladesh seakan menjadi peringatan besar bagi industri fesyen. Bagaimana tidak? Peristiwa yang terjadi pada 24 April 2013 itu menewaskan sedikitnya 1.130 orang akibat gedung yang ambruk. Buruknya lagi, sebagian besar korban merupakan buruh dari pabrik-pabrik garmen yang berlokasi di gedung bertingkat delapan tersebut.
Padahal, satu hari sebelumnya, pemerintah setempat telah menginstruksikan pemilik gedung untuk mengosongkan gedung karena ditemukan banyak retakan pada bangunan gedung. Namun perintah tersebut diabaikan dan para buruh tetap bekerja seperti biasa. Tragedi ini mencerminkan bahwa industri mode di dunia belum sepenuhnya memperhatikan etika dan keberlanjutan.
Berlatar belakang peristiwa reruntuhan tersebut, berdirilah Fashion Revolution, yaitu sebuah gerakan global di 90 negara termasuk Indonesia yang menginisiasi sebuah perubahan terhadap cara produksi dan pembelian produk fesyen. Harapannya, industri mode global tidak lagi suram, ekploitatif dan merusak lingkungan. Di laman resminya, Fashion Revolution menuliskan tujuannya.
“Kami menganggap fesyen sebagai sebuah pengaruh positif sehingga perlu adanya selebrasi, selagi kami meneliti praktik industrinya dan meningkatkan kesadaran akan isu-isu yang paling mendesak. Kami bertujuan untuk menunjukkan bahwa perubahan itu mungkin dan mendorong mereka untuk menciptakan masa depan mode yang lebih etis dan berkelanjutan,” tulis para pendiri Fashion Revolution dalam situs fashionrevolution.org.
Menurut Fashion Revolution, dibutuhkan banyak hal untuk membuat satu pakaian. Bukan hanya tentang yang selalu kita dengar seperti desainer, merek, toko, atau peragaan busana, tapi juga petani kapas, pemintal, penenun, petugas kebersihan dan pekerja pabrik lainnya. Oleh karena itu, Fashion Revolution mengajak seluruh dunia untuk peduli terhadap isu-isu yang terjadi di dunia mode, khususnya terhadap semua yang terlibat dalam industri ini. Salah satunya adalah eksploitasi terhadap buruh.
“Sebagian besar masyarakat masih belum sadar bahwa kekerasan terhadap manusia dan lingkungan mewabah di industri mode, dan bahwa apa yang mereka kenakan bisa saja dibuat dengan cara yang eksploitatif. Kami tidak ingin menggunakan cerita lama itu lagi. Kami ingin melihat fesyen menjadi sebuah kekuatan untuk kebaikan,” tulis Fashion Revolution.
Seperti yang dikutip dari The Actual Style, jika kita merujuk pada film dokumenter John Pilger, The New Rulers of the World (2001), analisis terhadap persoalan buruh pun masih berada dalam konteks yang sangat luas, yaitu kapitalisme. Dalam filmnya tersebut, Pilger mengisahkan bahwa dari harga Rp 112.000 (sekitar tahun 2000-2001) untuk sepotong celana pendek bermerek GAP yang dibuat di Indonesia, buruh yang mengerjakannya hanya memperoleh Rp 500.
Contoh lain, dari sepasang sepatu lari seharga Rp 1.400.000, seorang buruh hanya memperoleh Rp 5.000. “Uang sebesar itu bahkan tidak cukup untuk sekadar membeli tali sepatunya,” ujar Pilger.
Sebagai informasi, acara tahunan organisasi ini berupa Fashion Revolution Week yang pada tahun 2017 ini diselenggarakan sejak Minggu, 19 April hingga 30 April di Sanur, Bali. Pada pekan mode tersebut, akan diadakan pemutaran film fesyen dan diskusi dengan tema “Di Balik Merek Lokal dan Produksinya” bersama Bonni Rambatan, Neli Yo, Danni, Nurkamaya.
Penulis: Ayu Ratna Mutia