Dalam upaya mendukung Rencana Aksi Nasional Pengurangan dan Penghapusan Merkuri (RAN PPM), Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PB PDGI) sepakat meninggalkan penggunaan amalgam dalam praktik mereka.
Melansir dari sebuah penelitian yang terbit dalam Prosiding Dies Forum 53 Fakultas Kedokteran Gigi Universitas Padjadjaran, amalgam sendiri merupakan salah satu bahan penambal gigi yang terbuat dari campuran berbagai jenis logam. Meskipun memiliki daya tahan yang tinggi, bahan tersebut mengandung zat merkuri yang berbahaya bagi kesehatan.
Sekretaris Divisi Informatika dan Pusat Data Strategis PB PDGI Kosterman Usri mengatakan, penggunaan amalgam sebagai bahan penambal gigi sebenarnya sudah lama berjalan di Indonesia. Namun sejak 2018, Kementerian Kesehatan RI mengeluarkan surat edaran yang melarang penggunaan bahan tersebut dalam praktek kesehatan.
“Amalgam mengandung zat merkuri yang dapat membahayakan kesehatan pasien maupun dokter gigi,” katanya dalam webinar bertajuk Meningkatkan Efektifitas dan Komitmen Kesehatan Gigi Bebas Merkuri di Indonesia baru-baru ini.
Tambalan gigi yang terbuat dari amalgam memang memiliki daya tahan yang tinggi dan dapat bertahan selama lima hingga sepuluh tahun. Meski demikian tambalan yang terbuat dari bahan tersebut dapat menyebabkan reaksi negatif dalam tubuh seperti gatal, ruam kulit, sesak nafas dan gingivitis.
Selain itu, amalgam juga dapat meningkatkan jumlah merkuri dalam tubuh. Selanjutnya dapat mengancam kesehatan organ vital seperti ginjal, hati, limpa, paru-paru, hingga sistem saraf pusat.
“Dengan melihat dampak tersebut, seluruh dokter gigi di Indonesia secara tegas berkomitmen untuk meninggalkan penggunaan amalgam. Kami mendukung misi Indonesia untuk menjadi negara bebas merkuri,” kata Kosterman.
Limbah Amalgam Cemari Lingkungan
Tak hanya berbahaya bagi kesehatan, kandungan merkuri yang terdapat dalam amalgam juga berbahaya bagi lingkungan sekitar. Menurut informasi yang diperoleh dari situs DLHK Provinsi Banten, merkuri dapat meracuni hewan, tumbuhan dan juga mikroorganisme. Merkuri juga dapat mengganggu keseimbangan nilai pH pada permukaan tanah dan air. Maka dari itu, limbah amalgam yang mengandung merkuri tidak dapat kita buang secara sembarangan.
“Namun sayang sekali, saat ini kami belum menemukan solusi yang tepat untuk menyingkirkan limbah amalgam. Belum ada perusahaan pengangkut limbah yang bersedia untuk mengangkut limbah amalgam yang mengandung merkuri. Padahal tidak sedikit rumah sakit dan klinik gigi di Indonesia masih memiliki stok amalgam tak terpakai dalam jumlah yang begitu besar,” tuturnya.
Saat ini Badan Riset Nasional Indonesia (BRIN) dan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tengah mengembangkan sistem pengumpul limbah merkuri, khususnya amalgam, dari berbagai sektor di Indonesia. Mekanisme tersebut berupa Sistem Informasi Pemantauan Merkuri (SIPAMER).
Dalam situs resminya, SIPAMER merupakan sarana monitoring penarikan merkuri berbasis web aplikasi dan mobile. Pelapor dapat melaporkan merkuri miliknya untuk dapat ditarik secara daring. Merkuri kemudian masuk pada tempat penyimpanan khusus untuk mendapat penanganan lebih lanjut.
Penulis: Anggi R. Firdhani