Sejak tahun 1950, tanggal 7 April diperingati sebagai Hari Kesehatan Sedunia. Hari besar yang diinisiasi oleh salah satu organisasi PBB, World Health Organization (WHO), ini bertujuan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan hal-hal seputar kesehatan.
Tahun ini, tema yang diangkat adalah depresi. Depresi merupakan penyakit yang menyerang lebih dari 300 juta orang di seluruh dunia. Namun, tidak jarang depresi tertukar dengan gangguan mental lainnya, misal suasana hati (mood) atau respon emosi singkat sehari-hari.
Menurut WHO, depresi merupakan gangguan mental yang umumnya ditandai dengan gejala kecemasan, kehilangan minat dan kesenangan, timbulnya kesedihan, perasaan bersalah atau rendah diri, terganggunya siklus tidur dan nafsu makan serta konsentrasi yang buruk.
“Perayaan ini merupakan salah satu peringatan bagi setiap negara untuk berpikir ulang tentang pendekatan terhadap gangguan kesehatan mental dan tentang perlakuannya dengan urgensi yang layak,” ujar Dr Margaret Chan, Direktur Jenderal WHO di laman resmi www.who.int.
Di situs tersebut, WHO menyatakan bahwa jumlah orang yang menderita depresi antara tahun 1990 hingga 2013 meningkat hingga 50%. Hal ini disebabkan oleh kurangnya dukungan bagi penderita gangguan mental. Selain itu, munculnya stigma sosial terhadap orang yang mengalami depresi memberi rasa takut sehingga menjadi penghalang dan mencegah mereka dari akses perawatan yang dibutuhkan untuk hidup sehat dan produktif.
Keadaan tersebut dapat membuat episode depresi meningkat. Dan pada skenario terburuk, depresi dapat mendorong seseorang untuk bunuh diri. WHO mencatat bahwa depresi merupakan penyebab terbesar kedua pada angka kematian di antara usia 15-29 tahun.
“Stigma terhadap penyakit mental yang terus-menerus merupakan alasan kami memberi nama kampanye WHO: Depression: Let’s Talk,” ujar Dr Shekhar Saxena, Direktur Departemen Kesehatan Mental dan Penyalahgunaan Substansi WHO.
Faktanya, depresi dapat dicegah dan diobati melalui pemahaman yang lebih baik mengenai depresi, dan bagaimana cara untuk menghindari serta untuk menyembuhkannya. Oleh karena itu, dengan slogan “Depression: Let’s talk!”, WHO ingin menyadarkan masyarakat bahwa orang yang menderita depresi memerlukan bantuan.
Pihak yang bisa memberikan bantuan dan dukungan bagi orang yang menderita depresi adalah orang-orang terdekatnya baik melalui anggota keluarga, teman atau tenaga medis; atau kelompok-kelompok yang lebih besar seperti sekolah, tempat kerja dan domain publik; dan dalam media berita, blog atau media sosial.
“Bagi seseorang yang hidup dalam depresi, berbicara dengan orang yang mereka percaya merupakan langkah pertama yang paling sering dilakukan untuk pengobatan dan pemulihan,” kata Dr Shekhar Saxena.
Meskipun telah diketahui bahwa ada pengobatan yang efektif untuk depresi, kurang dari setengah dari jumlah penderitanya menerima pengobatan. Menurut WHO, hal-hal lain yang menghambat pengobatan depresi adalah sedikitnya sumber daya, kurangnya penyedia layanan kesehatan yang terlatih, dan stigma sosial yang terkait dengan gangguan mental.
Selain itu, hal yang tidak kalah penting adalah penilaian terhadap gejala yang tidak akurat. Baik di negara maju maupun berkembang, penderita depresi serinf tidak didiagnosis dengan benar. Sementara orang lain yang tidak mengalami gejala depresi tidak jarang salah diagnosis dan diberikan pengobatan antidepresan.
Penulis: Ayu Ratna Mutia