Konsumsi makanan dan minuman kemasan meningkat seiring bertambahnya daya beli masyarakat. Laporan Greenpeace dalam Throwing Away The Future: How Companies Still Have It Wrong on Plastic Pollution Solutions mencatat, sebanyak 855 miliar kemasan terjual di pasar global. Di Asia Tenggara, jumlahnya mencapai sekitar 50 persen. Pada 2027, produk kemasan diprediksi mencapai 1,3 triliun.
Dampak kemasan makanan tidak hanya mencemari lingkungan, tetapi juga kesehatan. Di dalamnya mengandung senyawa kimia beracun yang berbahaya bagi tubuh. Beberapa risiko jangka pendek dan panjang antara lain obesitas, kanker, penyakit kardiovaskular, dan masalah kesehatan lain.
Melansir theguardian.com, Dokter Anak dan Penulis Sicker, Fatter, Poorer Leonardo Trasande mengatakan bahan kimia dapat mengganggu hormon dan kesehatan di masa depan. Menurut Trasande, menghindari menggunakan kemasan adalah langkah besar untuk terpapar bahan kimia.
Baca juga: Studi Terbaru Temukan Plastik Berbahaya pada Tubuh Anak-anak
Lembaga riset Nielsen mengkaji seberapa besar daya konsumsi masyarakat melalui aplikasi pengiriman makanan daring (online). Hasilnya, sekita 58 persen masyarakat Indonesia membeli makanan siap santap (fast food) melalui telepon seluler pintar. Sementara rata-rata pembelian makanan per minggu diketahui sebanyak 2,6 kali.
Makanan panas yang ditempatkan di wadah berbahan kimia secara tidak langsung dapat larut dan bercampur dengan makanan. Bahkan jika masuk ke dalam tubuh dan dikonsumsi jangka panjang dapat berdampak terhadap kesehatan manusia.
Sebuah studi yang dirilis pada 2018 oleh sebuah kelompok advokasi konsumen menemukan hampir dua per tiga wadah dari lima toko bahan makanan terbesar di Amerika mengandung kadar fluorin yang tinggi.
Umumnya, minuman kemasan seperti kaleng atau aluminium dilapisi dengan Bisphenol A (BPA). Bahan kimia tersebut merupakan zat aditif plastic. Oleh lembaga Administrasi Obat dan Makanan, BPA dianggap aman jika kontak dengan makanan. Namun, menurut Badan Perlindungan Lingkungan, penggunaan BPA dalam kemasan kaleng atau aluminum dapat menyebabkan gangguan endokrin. Bahaya lainnya antara lain kanker payudara dan prostat, maupun ketidaksuburan serta gangguan metabolisme.
Beberapa perusahaan telah berhenti menggunakan BPA dalam kemasan susu formula dan botol bayi, tetapi zat tersebut tetap ada di dalam botol air dan kemasan makanan.
Baca juga: Kreasi Menarik dari Sampah Kemasan Plastik
Leonardo Trasande merekomendasikan untuk mengurangi konsumsi makanan dan minum kaleng beraluminium. Bahkan jika labelnya mengklaim bebas BPA sekalipun. Karena produk-produk tersebut juga dapat menimbulkan masalah kesehatan. Ia menyarankan minuman dan makanan yang dikemas dalam gelas. Konsumsi buah-buahan dan sayuran juga sebaiknya tidak di dalam kaleng. “Satu-satunya pengecualian produk bebas BPA adalah yang dibuat dengan minyak dan resin,” ucap Trasande.
Ia menuturkan banyak wadah penyimpanan plastik untuk makanan beku diklaim sebagai microwave safe. Namun, kenyataannya tidak ada yang namanya plastik anti-microwave. “Memanaskan plastik apa pun dalam microwave dapat menyebabkan bahan kimia meresap ke dalam makanan,” kata dia.
Penulis: Ridho Pambudi