Tidak hanya indah dan terkesan elegan, banyak pihak yang menilai sutra sebagai bahan sandang yang ramah lingkungan. Apakah benar demikian? Menyadur dari TreeHugger, Greeners mencoba menjawab pertanyaan ini.
Sutra adalah salah satu kain tertua yang paling berharga di dunia. Kain yang halus dan tahan lama ini terbuat dari filamen alami kepompong ulat sutra. Kepomponglalu melewati proses pewarnaan, pemintalan, dan penenunan benangnya.
Penggunaan sutra dalam kain berkembang di Tiongkok kuno; terbukti dari penemuan biomolekuler pertama sutra di sebuah situs Neolitik di provinsi Henan yang berasal dari 8.500 tahun lalu.
Sutra adalah serat alami yang dapat terurai secara hayati, tetapi produksinya memiliki dampak lingkungan yang lebih besar daripada kain alami lainnya. Sehingga bahan yang berbasis hewani ini menimbulkan pertanyaan, apakah sutra mode berkelanjutan?
Bagaimana Cara Membuat Sutra?
Serikultur, atau pembuatan sutra, bermula dari budidaya ulat sutra (Bombyx mori).
Ulat putih memakan daun mulberry segar. Setelah berganti kulit empat kali selama pertumbuhannya, mereka memutar protein yang bersekresi secara alami; mulai dari cairan, menjadi kepompong, yang menempel bersama dengan sericin. Proses pemintalan kokon membutuhkan waktu 2-3 hari.
Jika membiarkannya berkembang biak secara alami, ulat sutra kemudian bertumbuh menjadi ngengat di dalam kepompongnya. Ketika saatnya tiba, ngengat akan mengeluarkan cairan yang membakar lubang melalui untaian kepompongnya untuk muncul dan terbang untuk menyelesaikan siklus hidupnya.
Namun saat keluar dari kepompong, benang sutranya rusak. Jadi di pabrik produksi sutra, ulat sutra hanya hidup sampai mereka menjadi kepompong dalam balutan sutra.
Kemudian, kepompong ini akan melewati proses perebusan, sehingga membunuh ulat dan menghilangkan getah sericin, dan memperoleh filamen sutra secara utuh.
Filamen tersebut dilepas dan digabungkan dengan yang lain untuk membuat benang sutra. Setelah itu, benang sutra tersebut dibuat menjadi benang dengan ketebalan sesuai keperluan untuk menenun sehelai kain sutra.
Perlu sekitar 2.500 filamen ulat sutra untuk menghasilkan sekitar satu pon kain sutra.
Dampak Lingkungan dari Produksi Sutra
Sutra adalah kain alami, dapat terurai secara hayati, dan tahan lama. Namun, secara keseluruhan, sutra tampaknya memiliki dampak lingkungan yang lebih besar jika dibandingkan dengan serat alami lainnya.
Menurut Indeks Higg Koalisi Pakaian Berkelanjutan, sutra memiliki dampak lingkungan yang lebih buruk daripada kain sintetis.
Pertama, produksi sutra membutuhkan banyak energi. Peternakan sutra harus berada pada suhu yang terkontrol, dan memanen kepompong menggunakan air panas dan udara panas.
Kedua, produksi sutra menggunakan banyak air. Ketergantungan pada mulberry, (pohon yang membutuhkan banyak air), dapat menekan pasokan air tawar jika pohon ditanam di tempat yang jarang air. Perlu volume air yang besar pula untuk beberapa langkah dalam rantai pemrosesan sutra.
Ketiga, penggunaan bahan kimia untuk membersihkan dan mewarnai sutra dapat mencemari air lokal, menghambat biodegradasi kain, dan berkontribusi akan adanya dampak racun pada kain.
Apakah Sutra Industri Mode Berkelanjutan?
Dibandingkan dengan tekstil lainnya, sutra hanya menyumbang sedikit persentase dari keseluruhan produksi, hanya 0,2% dari pasar serat global.
Tetapi, kain ini bernilai tinggi. Sutra berharga 20 kali lipat dari kapas untuk volume yang sama; sehingga walaupun persentasenya kecil, ia mencapai nilai pasar hampir $17 miliar pada tahun 2021.
Di Cina, negara penghasil sutra terbesar di dunia, sektor sutra mempekerjakan sekitar satu juta pekerja.
India, produsen sutra terbesar kedua, memiliki tenaga kerja pedesaan yang tersebar luas sebesar 7,9 juta.
Serikultur dapat menjadi cara yang baik untuk bisnis kecil dan industri ‘rumahan’ (sekelompok kecil orang yang bekerja bersama di rumah atau lokakarya terdekat) untuk menjaga produksi dan pendapatan di daerah pedesaan.
Industri sutra pun telah melibatkan pekerja anak di India dan Uzbekistan. Pada tahun 2003, Human Rights Watch memperkirakan bahwa 350.000 anak di India bekerja sebagai buruh terikat di industri sutra, banyak di antaranya dalam “kondisi pelecehan fisik dan verbal.”
Selain itu, pekerja di industri sutra menghadapi risiko kesehatan dan kondisi kerja yang tidak aman.
Menurut sebuah studi tahun 2016 yang terbit dalam Journal of International Academic Research for Multidisciplinary; meskipun sutra berdasar pada asal-usul alaminya, industri sutra memiliki risiko kesehatan tertentu di semua segmen pengolahan sutra dari budidaya mulberry hingga tahap finishing sutra; termasuk toksisitas pestisida dan herbisida dari ladang mulberry, keracunan karbon monoksida, pemeliharaan tidak higienis, penggunaan disinfektan yang menyebabkan masalah pernapasan dan bertindak sebagai karsinogen.
Apakah ada opsi yang membuat sutra jadi mode berkelanjutan?
Sutra Ahimsa adalah sutra yang diproduksi tanpa membunuh ulat sutra. Namun, ngengat Bombyx mori telah manusia budi dayakan selama ribuan tahun, sehingga mereka tidak dapat bertahan lama setelah menetas dan muncul dari kepompong mereka.
Ngengat tidak dapat melihat atau terbang, karena itu, mereka tidak dapat melarikan diri dari predator. Mereka hanya hidup pendek di penangkaran.
Sutra liar (Sutra Tussar atau Tussah) terbuat dari kepompong yang ada di hutan terbuka, tempat beberapa spesies ngengat liar hidup.
Ulatnya memakan berbagai tanaman dan daun, sehingga hasil seratnya kurang konsisten jika perbandingannya adalah serat hasil dari ulat sutra. Kepompongnya dapat dipanen setelah ngengat menetas dan terbang, atau memanennya saat larva masih berada di dalamnya. Sutra ini memiliki serat yang lebih pendek dan berwarna emas.
Alternatif Sutra untuk Vegan
Karena terbuat dari produk hewani, sutra bukanlah kain untuk vegan. Sebagai alternatif, benang seperti sutra dapat terbuat dari beberapa sumber tumbuhan.
Kain sutra yang mewah juga bisa kita peroleh dengan mengolah batang bunga teratai. Membuat tekstil dari batang teratai adalah praktik kuno, tetapi butuh volume batang yang besar untuk membuat sedikit kain. Alternatif lain adalah piña, kain tradisional Filipina yang terbuat dari daun nanas. Piña memiliki tekstur seperti sutra dan ringan, tembus cahaya, dan kaku.
Baca juga: Ulat Sutra, Hewan Imut-Imut Penghasil Benang Mewah
Bagaimana dengan Sutra dari Laba-laba?
Orang-orang telah mencoba membuat kain sutra dari jaring laba-laba yang kuat dan elastis selama ratusan tahun. Namun, keberhasilannya terbatas, karena laba-laba cenderung menjadi kanibal saat dipaksa berdekatan untuk proses pembuatan sutra.
Alternatif baru dan inovatif untuk tetap memanfaatkan laba-laba ini adalah sutra laba-laba sintetis. Satu perusahaan tekstil, Bolt Threads, menggunakan air, ragi, gula, dan rekayasa biologis DNA laba-laba untuk mengembangkan bahan yang secara molekuler mirip dengan sutra laba-laba.
Bahannya, yang disebut Microsilk, berpotensi sangat kuat dan tahan lama. Bolt Threads telah bermitra dengan perusahaan Stella McCartney dan Best Made Co. untuk mengembangkan pakaian menggunakan Microsilk.
Penulis: Agnes Marpaung
Sumber: