Pohon waru atau Hibiscus Tiliance L. termasuk ke dalam suku kapas-kapasan (Malvaceae). Tumbuhan tropis berbatang sedang ini bisa tumbuh di pinggir jalan maupun di dekat pesisir. Selain di kedua tempat tadi, jenis ini juga telah lama dikenal sebagai pohon peneduh di sungai dan pematang.
Waru banyak terdapat di Indonesia terutama di daerah berpantai yang tidak berawa, tanah datar, hingga pegunungan dengan ketinggian 1.700 meter di atas permukaan laut. Selain banyak ditanam di pinggir jalan, waru juga tumbuh di sudut pekarangan sebagai tanda batas pagar. Tanaman ini disukai karena akarnya tidak dalam sehingga tidak merusak jalan dan bangunan di sekitarnya. Bunganya yang kuning mencolok juga diniai indah saat dipandang mata.
Baca juga: Katang-Katang, Tanaman Pesisir untuk Meredakan Nyeri
Di Indonesia, belukar waru memiliki beragam julukan, seperti baru (Gayo, Belitung, Madura, Makassar, Sumba, Halmahera); dadap Laut (Pontianak); baru dowongi (Ternate, Tidore); waru (Sunda, Jawa, Bali, Bugis, Flores); haru, halu, faru, fanu (aneka bahasa di Maluku) (Heyne, 1987).
Secara morfologi pohon waru memiliki pertumbuhan yang cepat. Pertumbuhannya dapat mencapai tinggi 5 sampai 15 meter. Pohonnya bercabang dan berwarna cokelat. Daun waru merupakan daun tunggal, berangkai, berbentuk jantung, melingkar lebar atau bulat seperti telur, tidak berlekuk dengan diameter kurang dari 19 cm.
Daunnya menjari sebagian dimulai dari tulang daun utama dengan kelenjar berbentuk celah pada sisi bawah dan pangkal. Sisi bawah daun berambut dan berwarna abu-abu. Daun penumpunya seperti bulat telur yang memanjang sekitar 2,5 cm dan meninggalkan tanda bekas berbentuk cincin.
Bunga daun waru merupakan bunga tunggal, bertaju 8 hingga 11. Panjang kelopaknya 2,5 cm, beraturan bercangkap lima. Daun mahkotanya berbentuk kipas dengan panjang 5-7 cm, berwarna kuning dengan noda ungu pada pangkal. Bagian dalamnya berwarna oranye dan akhirnya berubah menjadi kemerah-merahan. Bakal buah memiliki ruang sebanyak lima rongga dengan banyak bakal biji. Buahnya berbentuk telur berparuh pendek dengan panjang 3 cm (Syamsuhidayat & Hutapea, 1991).
Baca juga: Antioksidan dari Bunga Nusa Indah
Tidak hanya menjadi tumbuhan peneduh, waru juga berkhasiat sebagai bahan obat. Nenek moyang kita telah menggunakan tanaman waru sebagai obat-obatan tradisional untuk menjaga kesehatan. Daun dan batangnya diketahui mengandung zat musilago yang berfungsi untuk melapisi dinding saluran pencernaan, saluran kencing serta tenggorokan.
Sementara komposisi zat lain seperti emolien bermanfaat sebagai pembasmi kuman (antiseptik). Berdasarkan sejumlah penelitian, terdapat penyakit yang bisa disembuhkan oleh daun waru dan di antaranya adalah penyakit batuk serta demam. Sedangkan kayu waru diketahui banyak dimanfaatkan untuk pembuatan ukiran seperti cendera mata (S. Hut, 2014).
Penulis: Sarah R. Megumi