Ulat Sagu, Penghuni Pohon Sagu yang Lezat Rasanya

Reading time: 3 menit
Foto : istimewa

Sebagian masyarakat kita ada yang geli kala melihat ulat, bahkan tidak sanggup untuk memegangnya. Namun, tidak bagi masyarakat Indonesia Timur yang cukup gemar mengonsumsi Ulat Sagu. Sejenis ulat yang hidup dan tumbuh di batang pohon sagu.

Pohon sagu yang sudah ditebang atau membusuk sering dihinggapi oleh kumbang jenis ‘Merah Kelapa’ (Rhynchophorus ferrugenesis). Sang kumbang betina biasanya meletakkan telur telur mereka dibagian luka batang pohon atau luka bekas gerekan tanduk kumbang lain.

Telur kumbang merah kelapa tersebut kemudian menetaskan larva, larva ini lalu tumbuh menjadi ulat sebelum mencapai bentuk sempurnanya menjadi kumbang dewasa. Ulat yang tumbuh di pohon sagu ini berukuran seperti ibu jari dan berwarna putih.

Siklus hidup dari Ulat Sagu terdiri atas stadium imago dan stadium larva. Stadium imago berlangsung selama 3-6 bulan. Jumlah telur bisa mencapai 500 butir. Ukuran panjang telur 2,5 mm dengan lebar 1 mm.

Telur menetas setelah 3 hari dan masuk stadium larva. Periode larva berlangsung selama 2.5-6 bulan (tergantung temperatur dan kelembaban). Setelah dewasa larva akan berhenti makan, kemudian akan mencari tempat lindung yang dingin dan lembab untuk persiapan membentuk pupa atau kepompong.

Foto : istimewa

Dua minggu hidup dalam kepompong, ia bertukar rupa menjadi bentuk dewasa selama 3 minggu dan masih tinggal dalamnya. Pada fase terakhir, ia akan berwarna merah coklat dan bagian tubuhnya telah memperlihatkan tubuh kumbang dewasa.

Sebelum mencapai fase kepompong menuju kumbang dewasa, biasanya ulat sudah diambil untuk dikonsumsi.

Ulat Sagu dipercaya mengandung banyak manfaat. Karena mengandung protein tinggi dan bebas kolestrol, oleh masyarakat Kamoro, Papua dan Maluku Ulat ini dimanfaatkan sebagai sumber makanan, dan dapat membantu mengurangi hama pada tanaman kelapa.

Selain kandungan protein yang cukup tinggi sekitar 9,34%, ulat ini juga mengandung beberapa asam amino esensial, seperti asam aspartat (1,84%), asam glutamat (2,72%), tirosin(1,87%), lisin (1,97%), dan methionin (1,07%).

Sekitar 90 persen tumbuhan sagu terdapat di Papua, sementara di Maluku hanya 10 persen. Di Papua Ulat Sagu yang segar bisa dibuat seperti sandwich, spageti, bakwan, campuran nasi goreng, bakso dan keripik.

Bagi masyarakat suku Kamoro, Papua mengkonsumsi ulat ini dengan cara memakannya secara langsung, direbus dan dijadikan sambal, serta ada juga yang dibakar seperti sate. Ingat sebelum memakannya, bagian kepala yang berwarna merah dari ulat ini dibuang terlebih dahulu.

Makanan khas Ulat Sagu biasanya disajikan oleh suku Kamoro pada saat acara adat. Cara mengolahnya yaitu dengan membungkus sagu dan ulatnya secara bersamaan di dalam daun pisang, lalu bungkusan tersebut diletakkan dibawah batu batu yang sebelumnya sudah dipanaskan dengan api. Makanan ini biasanya disebut dengan ‘sagu bakar’.

Ulat Sagu bisa dimakan mentah-mentah. Ia memiliki rasa yang gurih dan sedikit beraroma sagu. Jika digigit, dari perutnya akan mengeluarkan cairan manis. Namun, dengan bentuk tubuhnya, masih banyak orang yang tidak mau mengkonsumsi Ulat Sagu.

Melihat dari pontensi Ulat Sagu yang sangat tinggi, maka penting untuk dilakukan pembudidayaan pada tanaman sagu, agar habitat dan ekosistem sagu terus meningkat dan terjaga secara berkelanjutan. Penebangan yang tidak bijaksana dapat menurunkan produktivitas hamparan hutan sagu dan hilangnya jenis sagu yang potensial untuk dikembangkan.

Penulis : Sarah R. Megumi

 

Top