Reptil satu ini memiliki kulit dengan motif atau corak seperti batik. Phyton reticulatus atau akrab dikenal sebagai ular sanca, merupakan jenis ular yang tidak berbisa atau non-venomous. Ular ini umumnya memiliki penyebaran cukup luas dan sering ditemukan di Asia Tenggara. Di Asia Tenggara, penyebaran ular sanca batik meliputi Myanmar Selatan, Thailand, Laos, Kamboja, Vietnam, Semenanjung Malaya, Filipina, Singapura dan Indonesia. Sedangkan di Indonesia sendiri, ular ini paling banyak dijumpai di wilayah Sumatera, Jawa, Kalimantan, Bali, NTB, NTT dan Sulawesi.
Ular sanca batik hidup di hutan-hutan tropis yang lembab. Ular ini bergantung pada ketersediaan air, sehingga kerap ditemui tidak jauh dari sungai, kolam atau pun rawa. Ular ini membutuhkan lingkungan dengan suhu kisaran kurang dari 37,8 derajat Celcius.
Ular sanca batik bukan jenis ular yang agresif, ular ini cenderung menunggu mangsanya hingga berada pada jarak serangan. Mangsa dilumpuhkan dengan melilitnya kuat-kuat (constricting) hingga mati kehabisan napas. Beberapa tulang di lingkar dada dan panggul buruan akan patah karenanya. Setelah menelan mangsa yang besar, ular ini akan berpuasa beberapa hari hingga beberapa bulan sampai lapar kembali (Murphy and Henderson, 1997).
Secara morofologi ular sanca batik berbentuk langsing dengan lingkar tubuh yang berotot, cenderung membulat tidak memipih seperti ular pembelit lainnya. Panjang tubuhnya mencapai 8 m hingga 15 m dengan berat 75-150 kg bahkan lebih. Layaknya batik, ular ini memiliki motif punggung dengan warna dasar bergaris tepi warna hitam dan kuning, oranye atau coklat. Terdapat bintik-bintik di samping badannya berwarna terang. Seluruh tubuhnya memantulkan warna “hologram” (Murphy and Henderson, 1997).
Berdasarkan sumber kajian ilmiah, di Bali, ular sanca batik ini memiliki pola lingkaran besar berbentuk jala (reticula), tersusun dari warna-warna hitam, kecoklatan, kuning dan putih disepanjang sisi dorsal tubuh. Satu garis hitam tipis berjalan di atas kepala dari moncong hingga tengkuk, menyerupai garis tengah yang membagi dua kanan kiri kepala secara simetris. Masing-masing satu garis hitam lain yang lebih tebal berada ditiap sisi kepala, melewati mata ke belakang.
Ular sanca batik memiliki sisik-sisik dorsal (punggung) tersusun dalam 70-80 deret, sisik-sisik ventral (perut) sebanyak 297-332 buah dari bawah leher hingga ke anus, sisik subkaudal (sisi bawah ekor) 75-102 pasang. Perisai rostral (sisik diujung moncong) dan empat perisai supralabial (sisik-sisik di bibir atas) terdepan memiliki lekuk heat sensor pits atau sensor yang peka terhadap suhu (Tweedie, 1983).
Ular sanca batik bertelur antara 10 hingga sekitar 100 butir. Telur-telurnya dierami pada suhu 88-90°F (31-32°C) selama 80-90 hari, bahkan bisa lebih dari 100 hari. Ular betina akan melingkari telur-telur ini sambal berkontraksi. Mereka akan menggerakan ototnya agar menimbulkan panas yang dapat meningkatkan suhu telur beberapa derajat di atas suhu lingkungan. Pada ular betina, mereka akan menjaga telur-telurnya dari pemangsa hingga menetas. Sayangnya dikala sudah menetas, maka ular betina akan meninggalkan anak-anaknya dan nasibnya diserahkan ke alam (McCurley, 1999).
Menurut sumber yang didapat, ular sanca batik dapat hidup selama 23 tahun di alam liar. Sedangkan di penangkaran ular ini dapat bertahan hidup 25 hingga 28 tahun. Di alam liar sangat jarang seekor ular sanca batik mati kerena umur yang sudah uzur, tapi lebih kepada intervensi manusia seperti perburuan, perusakan hutan dan lain sebagainya. Berdasarkan penelitian, hanya beberapa persen saja ular sanca batik muda yang dapat mencapai usia dewasa (Ballard dan Cheek, 2003).
Penulis: Sarah R. Megumi