Tembesu (Fagraea fragrans Roxb.) atau dalam bahasa Inggris dikenal sebagai ironwood merupakan salah satu spesies tanaman yang tumbuh di hutan rawa dan rawa gambut terutama di daerah Sumatra. Tembesu merupakan jenis pohon lokal yang tumbuh dan tersebar di daerah Jambi, Sumatera Selatan, Lampung (Asmaliyah et al., 2012) dan Kalimantan Barat (Rosalia, 2008).
Berdasarkan berbagai sumber kajian ilmiah, tembesu memiliki nilai keunggulan dari sisi ekologi dan ekonomi. Kayu tembesu memiliki kelas Awet I dan kelas Kuat I-II. Secara ekologi, tembesu merupakan jenis tanaman pionir yang dapat tumbuh di areal bekas terbakar dan padang rumput. Hingga tahun 2011, permintaan kayu tembesu, khususnya di Kota Palembang, Sumatera Selatan, mencapai 3.120 m3 per tahun (Sofyan et al., 2013).
Tembesu memiliki nilai ekonomi juga nilai budaya yang tinggi bagi masyarakat lokal di Sumatera Selatan. Masyarakat menggunakan tembesu yang bersifat agak keras (Fagraea fragrans) sebagai tiang penyangga baik untuk rumah, kapal, jembatan, konstruksi rumah dan bahan furnitur. Sebagai bahan konstruksi rumah, tembesu mempunyai nilai budaya tinggi dan menambah nilai prestise bagi pemiliknya.
Adapun tembesu yang bersifat lembut (Fagraea crenulata) dipakai untuk bahan baku produk ukiran karena kayu tembesu ini mudah dibentuk, tidak mudah retak dalam pengerjaannya dan nilai penyusutannya kecil. Adapun daun dari tembesu dapat digunakan sebagai bahan obat-obatan (Putra et al., 2011).
Beralih ke morfologinya, tembesu merupakan jenis pohon yang mempunyai sifat hijau sepanjang tahun (evergreen) dengan percabangan yang banyak. Tinggi tanaman ini dapat mencapai 40 m (Lemmens et al., 1995, Martawijaya et al., 2005). Batang pohonnya memiliki ciri fisik bergelombang lemah tanpa banir. Kulit batangnya tebal dan cukup keras, berwarna coklat sampai hitam.
Bunga tembesu merupakan bunga tunggal berwarna putih dan mempunyai aroma yang harum. Tanaman ini akan menghasilkan buah dalam jumlah sangat banyak pada musim berbuah. Buahnya berbentuk bulat dengan diameter sekitar 0,5 – 1 cm, berwarna hijau atau kuning pada saat muda dan berwarna merah atau oranye bila telah masak.
Berdasarkan buku “Tembesu, Kayu Raja Andalan Sumatera”, tembesu dikenal sebagai kayu unggul dengan sebutan “kayu raja”, yang pada masa lalu hak penebangannya diatur oleh para kepala adat. Untuk mencegah kepunahannya, kepala adat menetapkan peraturan, yaitu untuk setiap penebangan satu pohon tembesu harus diganti dengan menanam sebanyak sepuluh pohon pada tempat-tempat yang telah ditentukan. Berkat peraturan tersebut, kini banyak terbentuk kebun tembesu di berbagai wilayah di Sumatera bagian Selatan pada masa itu (Heyne, 1987).
Meskipun termasuk jenis kayu mahal, sayangnya tembesu belum menjadi komoditas pilihan utama petani untuk menanamnya. Tingginya nilai komoditas lain seperti karet dan sawit di wilayah Sumatera membuat masyarakat cenderung memilih menanam kedua tanaman tersebut sebagai alternatif utama penopang ekonomi keluarga.
Mesikpun demikian, budaya menaman pohon tembesu tersebut masih berlangsung hingga saat ini, dimana masyarakat seringkali menanam dan atau memelihara tembesu yang tumbuh alami sebagai tanaman sela pada kebun-kebun mereka, baik pada kebun karet maupun sawit yang mereka usahakan.
Penulis: Sarah R. Megumi