Nama ‘Sentul’ identik dengan nama daerah di wilayah perbatasan kabupaten Bogor dan Jakarta. Tetapi untuk nama Sentul yang satu ini merujuk pada nama buah. Buah Sentul tak lain adalah buah kecapi (Sandoricumb koetjape (Burm. f.) Merr).
Kecapi merupakan tanaman khas Jakarta yang langka. Penduduk asli Betawi dulunya banyak menanam pohon kecapi di pekarangan rumah. Cara mengupas buahnya pun unik, orang Betawi biasa mengupas buah ini dengan cara dibanting atau dijepit di engsel pintu. Namun sangat disayangkan keberadaan tanaman kecapi mulai langka, kelangkaannya pun dikarenakan tanaman ini kalah populer dengan buah lainnya yang memiliki nilai jual lebih tinggi misalnya rambutan, mangga atau durian.
Menurut Buletin Kebun Raya Indonesia (2009), Sandoricum koetjape yang juga disebut santol ini dikenal sebagai tanaman penghasil buah yang penting dalam suku Meliaceae. Tanaman ini berasal dari Indocina dan Malesia bagian barat dan diintroduksikan ke Asia tropis. Bentuk liar tanaman ini menyebar ke Semenanjung Malaya, Sumatra hingga ke New Guinea. Penamaan lain buah kecapi dari berbagai negara ialah sentol, kelampu, ketuat, ranggu, lolly fruit, red santol dan yellow sentol.
Secara morfologi, tanaman kecapi memiliki batang tumbuh tegak dengan tinggi mencapai 25-30 m. Kulit batangnya berwarna abu-abu sampai kecoklatan dengan diameter 70-90 cm. Kecapi dapat dijumpai pada hutan primer dan sekunder pada ketinggian 1.200 m dpl atau lebih. Beberapa laporan menyebutkan bahwa kecapi ditemukan juga di hutan dataran rendah Dipterocarpaceae dan hutan kerangas (Idris, 1998).
Di Jawa, tanaman ini tumbuh pada ketinggian kurang dari 1.000 mdpl. Percabangannya banyak dan membentuk tajuk yang lebat. Batang melengkung berkayu, bergetah, percabangan mulai dari bagian pangkalnya. Daun majemuk, lonjong, berseling, panjang 12-20 cm, tepi rata, ujung meruncing, pertualangan menyirip, permukaan halus, mengkilat, tangkai bulat, panjang 5-7 cm, berwarna hijau.
Buahnya berbentuk bulat sampai bulat pipih. Terdiri dari 2-5 biji besar yang dikelilingi kulit menyerupai busa dan seakan-akan ditaburi tepung. Daging buahnya lunak mengandung cairan berlendir, melekat sangat erat pada bijinya dan rasanya masam (dikutip dalam penelitian Pamungkas, 1995, Fakultas Pertanian, IPB).
Sekilas isi buah kecapi seperti buah manggis yang terdiri dari beberapa buah berwarna putih, yang buahnya dapat dimakan dalam keadaan segar atau dimasak terlebih dulu. Buah kecapi yang matang biasanya akan lebih terasa dominan manis dan sedikit masam.
Buah kecapi biasa dikonsumsi segar dan di beberapa daerah dijadikan sebagai selai, manisan dan sirup. Bagian kulit buah kecapi yang berdaging tebal juga dapat dikonsumsi dalam keadaan segar atau dimasak terlebih dahulu dan dijadikan manisan (Wihermanto, 2011).
Bentuk lain dari pemanfaatan buah kecapi yaitu sebagai minuman beralkohol yang difermentasikan bersama dengan beras. Di Malaysia, buah mudanya dijadikan sebagai bahan baku pembuatan permen karena buah kecapi kaya akan kandungan pektin (Aprilianti, 2009).
Menurut beberapa penelitian kesehatan, senyawa fitokimia yang terkandung dalam kulit buah kecapi salah satunya adalah flavonoid, dapat digunakan sebagai pelindung tubuh manusia dari radikal bebas dan dapat mengurangi risiko penyakit kanker dan peradangan. Daging buah dan kulit buah kecapi yang memiliki kandungan flavonoid tinggi berpotensi untuk dikembangkan menjadi minuman fungsional berkhasiat antioksidan.
Keunikan lain dari kecapi adalah batang kayunya dapat dimanfaatkan menjadi bahan konstruksi rumah, dek kapal, furnitur, berbagai perlengkapan rumah, alat-alat pertanian, sandal, dan sebagai bahan pembuatan kertas dan triplek. Daunnya dapat digunakan untuk mengurangi gejala sakit perut dan demam. Kulit batang yang dihaluskan dapat mengobati penyakit cacing gelang. Akarnya digunakan untuk anti diare dan tonik setelah melahirkan (Idris, 1998).
Menurut penelitian Warsinah et al (2011), dalam majalah Obat Tradisional menjelaskan bahwa kulit batang kecapi memiliki potensi yang dapat digunakan sebagai obat untuk penyakit yang disebabkan oleh bakteri dan fungi Candida albicans.
Penulis: Sarah R. Megumi