Kebiasaan masyarakat Indonesia mengonsumsi nasi adalah untuk memenuhi kebutuhan karbohidrat dan protein dalam tubuh. Namun sebagai pengganti nasi, kita juga dapat beralih ke roti. Bahan utama pembuat roti adalah gandum. Dahulu, manusia purba mencampur gandum dengan air agar membentuk adonan, kemudian adonan ini dibakar di atas batu datar hingga menjadi roti.
Gandum (Triticum aestivum L) adalah serealia dari famili Graminae (Poaceae) dan merupakan salah satu bahan makanan pokok manusia selain beras. Menariknya, gandum mengandung protein lebih tinggi daripada beras. Gandum termasuk tanaman subtropis. Jadi gandum sendiri bukanlah tanaman asli Indonesia. Di Indonesia kebutuhan gandum relatif besar dan selama ini seluruhnya dipenuhi melalui impor.
Pada umumnya, biji gandum (kernel) berbentuk opal dengan panjang 6–8 mm dan diameter 2–3 mm. Seperti jenis serealia lainnya, gandum memiliki tekstur yang keras. Biji gandum terdiri dari tiga bagian yaitu bagian kulit (bran), bagian endosperma, dan bagian lembaga (germ). Berdasarkan tekstur kernel, gandum diklasifikasikan menjadi hard, soft, dan durum. Sementara itu, berdasarkan warna bran, gandum terbagi menjadi 2 warna yaitu merah dan putih.
Tanaman gandum yang ditanam di daerah beriklim kering umumnya adalah jenis hard wheat yang cocok untuk terigu pembuat roti, sedangkan pada daerah basah yaitu jenis soft wheat, menghasilkan terigu bahan pembuat biskuit/kue. Ada juga durum wheat, jenis gandum khusus. Ciri dari gandum ini ialah bagian dalam (endosperma) berwarna kuning seperti jenis gandum pada umumnya dan memiliki biji yang lebih keras, serta memiliki kulit yang berwarna coklat. Gandum jenis ini digunakan untuk membuat produk-produk pasta, seperti makaroni, spageti dan dan produk pasta lainnya.
Dalam kajian ilmiah “Dinamika Penelitian Gandum di Indonesia” oleh Erythrina dan Zaini, dijelaskan bahwa penanaman gandum di Indonesia sudah dimulai pada awal abad ke-20 secara terbatas di wilayah dataran tinggi, antara lain di Pengalengan (Jawa Barat), Dieng (Jawa Tengah), Tengger (Jawa Timur), dan Amanumbang, yang kemudian keberhasilan penanamannya berkembang ke beberapa wilayah dataran tinggi lain.
Untuk dapat berproduksi dengan baik di Indonesia, gandum memerlukan lingkungan tumbuh dengan temperatur yang berkisar antara 15-25°C dan curah hujan 350- 1250 mm selama siklus hidupnya. Tanah yang ideal untuk tanaman gandum adalah dengan pH 6-8 (Erythrina dan Zaini). Hasil penelitian di beberapa daerah menunjukkan, rata-rata tanaman gandum dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik pada dataran sedang (350-700 m dpl) sampai dataran tinggi (800-1.300 m dpl).
Walaupun tanaman gandum dapat tumbuh dengan baik di dataran tinggi, namun banyak faktor-faktor lain yang membuat tanaman gandum minim dibudidayakan di Indonesia. Kebiasaan petani Indonesia yang terbiasa menanam padi, jagung dan kedelai, membuat tanaman ini diasumsikan belum memberikan keuntungan yang layak secara ekonomis. Selain itu, penyakit tanaman yang banyak, kurangnya kesiapan benih hingga alat pasca panen penyosoh dan penepung yang belum tersedia membuat kualitas gandum Indonesia belum dapat menyaingi kualitas gandum impor (kajian ilmiah Sembiring et al, “Kebijakan Pengembangan Gandum di Indonesia”).
Indonesia merupakan salah satu negara pengimpor gandum terbesar di dunia. Pada tahun 2010 Indonesia menjadi negara pengimpor terigu terbesar ke-4 di dunia dengan volume impor 5,6 juta ton. Pada tahun 2011, Indonesia sudah menjadi negara pengimpor terigu terbesar ke-2 di dunia dengan volume impor 6,2 juta ton dan pada tahun 2013 meningkat menjadi 7 juta ton (Aptindo 2013).
Asosiasi Produsen Terigu Indonesia (Aptindo) memperkirakan permintaan gandum akan melonjak tajam hingga 10 juta ton per tahun dalam satu dekade ke depan. Bila Indonesia masih bergantung pada impor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri tentu akan menyedot devisa yang cukup besar, sehingga dapat mempengaruhi ketahanan pangan nasional (Sembiring et al).
Penulis: Sarah R. Megumi