Pemanfaatan sumberdaya kerang-kerangan oleh masyarakat yang hidup di sekitar wilayah pesisir selama ini tidak dibarengi dengan upaya-upaya pelestarian, sehingga lambat-laun mulai terasa ada efek dan tekanan terhadap populasi biota kerang-kerangan di alam.
Hari Laut Sedunia atau World Oceans Day yang dirayakan setiap tanggal 8 Juni bertujuan untuk mengingatkan seluruh orang di dunia tentang peranan penting laut dan keanekaragaman hayati yang terkandung didalamnya bagi kehidupan sehari-hari. Salah satunya adalah kerang-kerangan, biota laut yang memiliki komponen penting dalam ekosistemnya.
Familiar kah Anda dengan fauna siput? Ternyata jenis fauna siput tidak hanya hidup di darat, namun fauna ini juga hidup di wilayah perairan dan pesisir laut. Dikenal dengan nama “Siput gonggong”, biota laut ini termasuk kedalam jenis kerang-kerangan (moluska) yang dijumpai di perairan Indonesia, khususnya banyak ditemukan di Kepulauan Riau, Bangka Belitung dan wilayah Indonesia Timur.
Kekhasan tersebut menjadikan siput gonggong sebagai ikon Kepulauan Bangka Belitung. Kepopulerannya terletak pada dagingnya yang menandingi ketenaran ‘escargot’, hidangan keong dari Perancis. Kelezatan rasa serta kaya akan kandungan protein yang tinggi pada daging siput gonggong, menjadikan biota ini sebuah peluang pasar pada bidang kuliner.
Biota ini sering diburu untuk diambil dagingnya. Daging siput gonggong dapat dikonsumsi dalam bentuk segar maupun diolah menjadi keripik. Ditambah lagi, beberapa restoran di wilayah Batam dan Tanjungpinang, Riau menyajikan siput gonggong rebus sebagai menu utama.
Dr. Ir. Safar Dody,M.Si, merupakan seorang Periset/Peneliti Ahli dari di Pusat Penelitian Oseanografi (P2O), LIPI yang meneliti siput gonggong. Penelitian beliau mengenai siput gonggong telah banyak di publikasi dalam bentuk artikel dan jurnal ilmiah. Dalam penelitiannya menjelaskan bahwa siput gonggong yang memiliki nilai ekonomis tinggi sering dieksploitasi oleh masyarakat pesisir sebagai sumber protein alternatif dari laut.
Selain itu, kegiatan penambangan timah di laut yang berpotensi merusak lingkungan sekitar semakin menambah tekanan terhadap populasi biota yang ada. Karena semakin intensifnya biota ini dieksploitasi, populasinya di alam pun semakin terancam.
Pada karakteristik dan morfologinya, biota ini merupakan gastropoda laut famili Strombidae. Ada 3 jenis siput dari famili Strombidae yang disemati nama siput gonggong antara lain Strombus turturella, Strombus canarium, dan Strombus luhuanus.
Habibat ketiga jenis biota laut ini serupa, yaitu umumnya mendiami daerah pasir berlumpur berkedalaman 3 – 4 meter yang banyak ditumbuhi tumbuhan bentik seperti lamun/rumput laut/makro algae sebagai sumber pakan. Untuk jenis Strombus turturella dan Strombus canarium, banyak ditemukan di bagian barat wilayah Indonesia terutama di perairan Kepulauan Riau dan Bangka Belitung. Sedangkan untuk Strombus luhuanus berlimpah di wilayah perairan Indonesia bagian timur.
Pada tingkat individu dewasa cangkangnya berwarna coklat kekuningan atau emas dan abu-abu. Siput gonggong memiliki karakteristik yaitu cangkang menyerupai gasing dan tutup cangkang berbentuk sabit, panjang maksimum cangkang dapat mencapai 100 mm, tetapi umumnya berukuran 65 mm. Permukaan luar cangkang mulus. Pada bagian tubuh menegak berbentuk kerucut, berkerut dan halus.
Siput gongong memiliki kelamin terpisah. Menurut Davis (2005) dalam Dody (2012), fauna ini memiliki kelamin terpisah dan akan mengalami kematangan seksual setelah tepi luar cangkangnya (lip) berkembang secara penuh.
Untuk mencegah terjadinya degradasi habitat dan menurunnya populasi siput gonggong maka berdasarkan kajian penelitian Dody (2012) diperlukan upaya restorasi dan pembentukan daerah perlindungan laut (DPL) yang dikelola oleh masyarakat.
Penulis: Sarah R. Megumi