Dalam laporan Departemen Riset dan Teknologi tahun 2010, penyakit infeksi masih merupakan penyumbang tertinggi angka kesakitan dan angka kematian di negara berkembang termasuk di Indonesia. Dengan demikian, penemuan antibakteri baru merupakan kebutuhan yang sangat mendesak. Penting untuk meningkatkan ketersediaan obat dan pencarian senyawa baru yang berkhasiat sebagai obat.
Informasi penggunaan tumbuhan dalam pengobatan tradisional merupakan salah satu pendekatan untuk menemukan obat baru. Seperti yang diketahui bahwa pengembangan antimikroba dari tumbuhan mempunyai prospek yang baik untuk mengatasi resistensi mikroba. Salah satu tumbuhan yang memiliki kemampuan tersebut adalah Petiveria alliaceae atau disebut singawalang.
Singawalang termasuk dalam famili Phytolaceae. Sebagai tanaman introduksi, singawalang masuk ke Indonesia melalui India. Singawalang dapat tumbuh subur di kebun-kebun di daerah panas.
Hingga saat ini penggunaan tanaman singawalang belum banyak dimanfaatkan di Indonesia, sedangkan di Karibia, Amerika Latin, Afrika Barat dan daerah lainnya sudah ratusan tahun digunakan sebagai pereda rasa sakit, flu, anti inflamasi, antitumor, antibakteri, antijamur, antihi perlipidemia, antidiabetes dan untuk menangani penyakit lainnya (Tropical Plant Database-Anamu, 2010).
Dikutip dari laman intisari.grid.id, secara fisik bentuk singawalang berbentuk semak-semak merunduk. Tinggi singawalang mencapai 1 meter. Berdaun jorong dengan panjang 6-19 cm, meruncing atau lancip, tajam, lentur, dan tak bertajuk. Buahnya longkah berbentuk garis seperti taji sepanjang 6 mm. Singawalang memiliki bau seperti marga bawang (Allium). Bila daunnya termakan oleh ternak maka akan meninggalkan bau yang tak sedap pada susu dan daging.
Beberapa penelitian menyebutkan, singawalang memiliki kandungan senyawa saponin, polifenol, kumarin, flavonoid, dan alkanoid pada akar, batang, dan daun (Ayodele et al. 2000, Kubec et al. 2003, Mulyani et al. 2012). Tanaman ini biasa digunakan sebagai insektisida nabati.
Secara tradisional singawalang digunakan sebagai analgetik, antiinflamasi dan sebagai tanaman obat untuk batuk berdarah. Ekstrak etanol dari tanaman tersebut berkhasiat sebagai obat antidiabetes (Susilawati et al. 2016). Selain itu, pengujian etnobotani yang dilakukan di salah satu daerah di Bogor menunjukkan penggunaan singawalang dapat mengurangi lama terapi pada penderita tuberkolosis .
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menjelaskan bahwa tuberkulosis adalah suatu penyakit infeksi menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang dapat menyerang organ, terutama paru-paru. Bila tidak diobati atau pengobatannya tidak tuntas, penyakit ini dapat menimbukan komplikasi berbahaya hingga kematian.
Pemanfaatan tanaman singawalang memberikan secercah harapan dalam upaya penyembuhan penyakit tuberkolosis. Daun pada tanaman singawalang dapat menjadi obat alternatif untuk menyembuhkan penyakit mematikan tersebut. Karena berkhasiat obat, maka pada 10 April 1993, presiden Soeharto, presiden Republik Indonesia saat itu, menjulukinya sebagai ‘daun tangguh’.
Dikutip pada laman fimela.com, resep untuk membuat obat herbal dari daun singawalang yaitu sediakan segenggam daun singawalang dan dua gelas air. Cuci bersih daun singawalang, kemudian bahan tersebut direbus hingga airnya tersisa satu gelas. Setelah selesai direbus maka tunggu hingga dingin, lalu diminum. Terapkan resep ini setiap pagi, siang dan sore setelah makan sampai penyakit benar-benar sembuh.
Penulis: Sarah R. Megumi