Menjelang hari raya Idul Fitri harga permintaan daging sapi di pasaran cenderung meningkat dibandingkan hari biasa. Sapi memiliki nilai ekonomi tinggi bagi manusia. Tidak hanya dapat meringankan pekerjaan manusia dengan tenaganya, sapi juga merupakan salah satu sumber protein hewani yang baik bagi kesehatan manusia.
Sapi umumnya dipelihara untuk dimanfaatkan susu dan dagingnya sebagai bahan pangan manusia. Hasil sampingan produk pemeliharaan sapi seperti kulit, jeroan, dan tanduk sapi juga dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Ternak sapi menghasilkan sekitar 50% kebutuhan daging di dunia, 95% kebutuhan susu, dan kulitnya menghasilkan sekitar 85 % kebutuhan kulit untuk sepatu.
Di sejumlah tempat, sapi juga digunakan sebagai penggerak alat transportasi, pengolahan lahan (bajak), dan alat industri lain seperti peremas tebu. Banyaknya kegunaan sapi membuat hewan berkaki empat ini menjadi bagian dari kebudayaan manusia sejak lama.
Sapi termasuk hewan herbivora atau pemakan tumbuhan. Berdasarkan kondisi fisiologis dan sistem pencernaannya, sapi digolongkan sebagai ruminansia (hewan pemamah biak) karena makanannya dicerna di dalam rumen (perut yang terletak antara kerongkongan dan perut jala).
Sapi merupakan anggota Suku Bovidae dan Anak Suku Bovinae. Berdasarkan taksonomi sapi, bangsa sapi di Indonesia diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu Bos indicus, Bos taurus, dan Bos javanicus. Sapi-sapi tersebut memiliki karakteristik warna kulit maupun ukuran tubuh yang berbeda. Berdasarkan uji jarak genetik, sapi madura mempunyai hubungan terdekat dengan sapi bali (Bos sondaicus/javanicus). Sedangkan sapi madura, sapi jawa dan sapi peranakan ongole diklasifikasikan sebagai Bos indicus, karena merupakan keturunan sapi liar yang dijinakkan di India.
Sapi ongole (Bos indicus) mempunyai ciri-ciri fisik yaitu bewarna putih sedikit keabu–abuan, warna pada jantan lebih gelap daripada yang betina. Kepalanya panjang, telinganya kecil dan bergantung, ukuran tanduk sedang. Sapi ini bergelambir, tubuh besar, berpunuk di atas bahu, paha besar, serta kulit tebal. Ukuran punuk pada jantan lebih besar dari punuk betina.
Sapi ongole merupakan jenis sapi potong terbaik di daerah tropis. Walaupun tumbuh dan berkembang di negeri empat musim namun sapi jenis ini mampu beradaptasi dengan baik di lingkungan yang baru, tahan terhadap panas dan gigitan caplak (sejenis kutu).
Ada satu penyakit yang ditakuti peternak sapi menyerang peliharaan mereka, yaitu penyakit antraks. Berdasarkan pedoman “Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Hewan Menular (PHM)” yang diterbitkan Kementerian Pertanian Republik Indonesia, Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan (2016) bahwa penyakit antraks (anthrax) atau disebut juga dengan radang limpa adalah penyakit yang disebabkan oleh kuman Bacillus anthracis. Umumnya menyerang semua hewan berdarah panas.
Penyakit ini bersifat universal, tersebar di seluruh dunia, baik negara yang beriklim tropis maupun sub tropis. Antraks telah dikenal sejak zaman Nabi Musa. Penyakit ini menyerang keledai, kuda, unta, sapi dan domba. Pada tahun 1613 di Eropa 60.000 orang meninggal diduga akibat antraks dan tahun 1923 di Afrika Selatan dilaporkan kematian 30.000 – 60.000 ekor hewan. Di Indonesia berita tentang penyakit menyerupai antraks menyerang ternak kerbau di daerah Teluk Betung (Lampung) pernah dimuat dalam “Javasche Courant” tahun 1884.
Sesuai dengan Keputusan Menteri Pertanian Nomor 4026/ Kpts./OT.140/3/2013 tentang Penetapan Jenis Penyakit Hewan Menular Strategis, penyakit antraks merupakan salah satu dari 25 penyakit yang menimbulkan kerugian ekonomi, keresahan masyarakat, dan kematian hewan yang tinggi. Berdasarkan pedoman diatas, pencegahan penyakit antraks dapat dilakukan sebagai berikut:
1) bagi daerah bebas antraks, tindakan pencegahan didasarkan pada peraturan yang ketat dalam pengawasan pemasukan hewan ke daerah tersebut; 2) bagi daerah endemik/enzootik, untuk pencegahan penyakit dilakukan vaksinasi sesuai anjuran diikuti pengawasan ketat; 3) untuk hewan tersangka sakit dapat dipilih perlakuan, yaitu penyuntikan antibiotik atau kemoterapeutik, penyuntikan serum, penyuntikan serum kombinasi dengan antibiotik atau kemoterapeutik. Dua minggu kemudian disusul dengan vaksinasi.
Penulis: Sarah R. Megumi