Mendengar kata “papeda” pasti tak asing lagi di telinga kita, apalagi bagi pecinta kuliner Nusantara. Papeda adalah makanan khas dan kebanggaan dari tanah Papua dan Maluku. Tekstur makanan ini unik karena seperti lem. Bagi yang tidak tahu, papeda terbuat dari olahan pati pada batang tumbuhan sagu.
Tanaman sagu (Metroxylon sagu Rottb.), atau sering disebut juga palma rawa, termasuk dalam famili palmae dan merupakan tanaman yang menyimpan pati pada batangnya. Pati sagu didapat dari tanaman yang sudah dewasa (Burkill 1935 dalam Hassan, 2002). Terdapat beberapa genus Palmae yang patinya telah dimanfaatkan, yaitu Metroxylon, Corypha, Euqeissona, dan Caryota. Genus yang banyak dikenal adalah Metroxylon dan Arenga karena kandungan patinya cukup tinggi. Sagu merupakan tanaman hidrofilik, hapaxanthic (berbunga satu kali), dan soboliferous (mempunyai anakan).
Berdasarkan sumber yang dirangkum dari kajian penelitian Institut Pertanian Bogor, secara morfologi sagu memiliki batang berbentuk silinder atau bulat memanjang dengan diameter sekitar 50-60 cm, bahkan dapat mencapai 80-90 cm. Pada umumnya diameter batang bagian bawah lebih besar dibandingkan dengan diameter batang bagian atas.
Tumbuhan sagu memiliki batang tertinggi apabila telah sampai pada umur panen yakni 11 tahun atau lebih. Pada masa itu tinggi pohon sagu mencapai 13-16 m, tetapi ada pula yang dapat mencapai 20 m dengan bobot sekitar satu ton (Haryanto dan Pangloli 1992). Batang tumbuhan sagu terdiri dari lapisan kulit bagian luar yang keras berupa lapisan epidermal dan bagian dalam berupa empulur yang mengandung serat-serat dan pati.
Tanaman sagu memiliki akar serabut. Pada awal pertumbuhan tumbuh akar primer dan dalam pertumbuhan lanjutannya tumbuh dan berkembang akar-akar sekunder. Pada daunnya, sagu memiliki sistem daun menyirip yang tumbuh pada tangkai daun. Pada bagian tajuk terdapat sekitar 6-15 rangkaian daun (ental) dan pada setiap rangkaian terdapat pelepah daun, tangkai daun, dan kurang lebih 20 pasang helai daun dengan panjang antara 60-80 cm.
Daun muda umumnya berwarna hijau muda, kemudian dengan bertambah waktu secara berangsur-angsur berubah menjadi hijau tua, selanjutnya berubah lagi menjadi coklat kemerah-merahan apabila daun telah tua. Tangkai daun yang telah tua tersebut akan terlepas dengan sendirinya dari batang, dan meninggalkan bekas pada kulit batang.
Tumbuhan sagu mulai berbunga dan berbuah pada umur sekitar 10-15 tahun. Malai bunga menyerupai tanduk rusa yang terdiri atas cabang utama, sekunder, dan tersier. Pada cabang tersier terdapat sepasang bunga jantan dan bunga betina. Jumlah struktur bunga sekitar 15-25 cabang utama dengan panjang 2-3 meter, cabang sekunder terdapat 15-22 cabang, dan cabang ketiga terdapat 7-10 cabang (Jong 2005).
Buah sagu berbentuk bulat menyerupai 15 buah salak dan mengandung biji yang fertil. Waktu antara mulai muncul bunga sampai fase pembentukan buah diperkirakan sekitar 2 tahun (Haryanto dan Pangloli 1992). Jumlah buah yang dihasilkan per pohon sagu yaitu sekitar 2.174-6.675 buah (Jong 2005).
Sumber pangan alternatif
Ketergantungan bangsa Indonesia terhadap beras sangatlah tinggi, terkadang Indonesia harus mengimpor beras dari negara lain untuk mencukupi kebutuhan pokok dalam negeri. Oleh karena itu, upaya mengurangi ketergantungan terhadap beras dapat dilakukan salah satunya adalah dengan cara mencari alternatif atau mengeksplorasi bahan pangan lain, yang dimana sagu merupakan tanaman pangan lokal yang memiliki segudang potensi di dalamnya.
Sagu merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK), yang memegang peranan penting dalam mendukung program diversifikasi sebagai pendamping beras selain jagung dan umbi-umbian. Keistimewaan lain dari tumbuhan ini ialah sagu merupakan penghasil karbohidrat yang cukup tinggi. Perlu diketahui bahwa kandungan kalori sagu sekitar 357 kalori, relatif sama dengan jagung yaitu 360 kalori ataupun beras giling sekitar 366 kalori.
Potensi sagu di Indonesia mencapai kurang lebih 50% dari sagu dunia. Secara alami tumbuhan sagu tersebar 17 hampir di setiap pulau di Indonesia dengan luasan terbesar berpusat di Papua, sedangkan sagu semi budidaya terdapat di Maluku, Sulawesi, Kalimantan dan Sumatera. Uniknya, sagu sejak dahulu telah memiliki arti penting bagi kehidupan masyarakat terutama di kawasan Indonesia bagian timur, baik sebagai sumber bahan makanan pokok maupun sebagai bahan bangunan.
Selain itu, kajian Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan (2013) mengungkapkan bahwa sagu dapat dijadikan bahan baku pembuatan etanol. Ini berarti sagu di Indonesia juga memiliki potensi untuk menghasilkan bioethanol sebagai subtitusi bahan bakar dari energi fosil.
Melihat dari pontensi sagu yang sangat tinggi maka perlunya usaha pembudidayaan tanaman ini. Berdasarkan informasi yang didapatkan dari Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia, meningkatnya eksploitasi hutan sagu alami didorong oleh meningkatnya permintaan produk sagu dari luar dan dalam negeri. Penebangan yang tidak bijaksana dapat menurunkan produktivitas hamparan hutan sagu dan hilangnya jenis sagu yang potensial untuk dikembangkan.
Penulis: Sarah R. Megumi