Tahun 1950 hingga 1970 merupakan tahun-tahun perjuangan melawan kelaparan di dunia. Para penanam beras dari International Rice Research Institute (IRRI) di Filipina mulai berusaha mengembangkan suatu varietas beras yang baru, dengan angka panen yang lebih tinggi daripada varietas tradisional ketika diberi tambahan pupuk. Tanaman padi varietas baru ini lebih pendek daripada varietas tradisional, yang membuat para petani lebih mudah memanennya. Padi varietas baru ini juga lebih cepat matang daripada padi varietas tradisional. Dengan demikian, waktu panen lebih cepat, bahkan dalam satu musim, petani dapat memanen padi beberapa kali.
Seiring dengan kesuksesan demi kesuksesan dari penemuan padi varietas baru ini, biaya yang dibutuhkan semakin tinggi untuk pupuk, pestisida kimiawi, dan mesin-mesin tani modern, yang juga semakin memberatkan para petani. Penggunaan senyawa-senyawa kimia juga diketahui semakin mencemari lingkungan dan membawa dampak negatif bagi kesehatan.
Selain itu, di beberapa daerah, satu varietas baru bahkan telah menggantikan diversitas padi lokal, padahal padi varietas tradisional diketahui lebih sesuai dengan iklim, jenis tanah, dan bahkan lebih tahan terhadap hama dan penyakit tanaman.
Usaha pembuatan varietas baru tanaman padi secara konvensional ternyata gagal. Oleh sebab itu, seiring dengan kemajuan teknologi, di masa ini telah dikembangkan teknik-teknik rekayasa genetika untuk menemukan varietas padi baru yang lebih baik berdasarkan teori-teori bioengineering (bioteknologi). Para ahli dan ilmuwan berharap, varietas baru yang berhasil tercipta melalui rekayasa genetika dapat mengurangi kebutuhan pupuk, lebih tahan hama dan penyakit, memiliki daya toleransi yang tinggi di tanah yang kurang subur, mengurangi kebutuhan irigasi, dan lebih efisien dalam hal fotosintesis. Selain itu, beras hibrida ini juga diciptakan untuk menangani permasalahan gizi, seperti Golden Rice (dari spesies Oryza sativa) yang merupakan produk GMO (Genetic Modified Organism) pada tahun 1999. Beras hasil rekayasa ini mengandung beta-karoten yang mampu memenuhi kebutuhan vitamin A terutama pada anak-anak. Beras ini diciptakan oleh Ingo Potrykus dari Institute of Plant Sciences di Swiss Federal Institutre of Technology yang bekerja sama dengan Peter Beyer dari University of Freiburg. Proyek ini dibiayai oleh Rockeffeler Foundation dan memakan waktu selama 8 tahun hingga penelitiannya selesai.
Gen yang mempunyai kemampuan untuk membentuk beta-karoten pada endosperma Golden Rice, diisolasi dari tumbuhan daffodil (Narcissus pseudonarcissus) dan Erwinia uredovora dari kelompok bakteri. Gen ini, bersamaan dengan promotornya yaitu segmen dari DNA yang mengaktifkan gen tersebut, disisipkan ke dalam plasmid (DNA sirkuler) yang berasal dari bakteri Agrobacterium tumefaciens. Bakteri ini kemudian dimasukkan ke dalam cawan petri yang mengandung embrio padi. Pada saat Agrobacterium tumefaciens menginfeksi embrio padi, gen yang menyandi perintah untuk pembuatan beta- karoten turut ditransfer. Tanaman padi transgenik telah terbentuk, dan tanaman padi ini harus disilangkan dengan tanaman padi lain, yang merupakan tanaman asli atau lokal agar cocok ditumbuhkan pada kondisi lingkungan dan iklim di daerah tersebut.