Populasi Lutung Jawa Turun 30 Persen Dalam Tiga Generasi

Reading time: 2 menit
Foto: greeners.co/H. Istiawan

Batu (Greeners) – Populasi lutung Jawa (Trachypithecus auratus auratus) terus menurun sejak 36 tahun terakhir di kawasan hutan-hutan di pegunungan di Jawa. Selama tiga generasi (panjang satu generasi 12 tahun) populasinya menurun hingga lebih dari 30 persen akibat penangkapan untuk perdagangan satwa peliharaan secara ilegal, perburuan, dan hilangnya habitat.

Pusat Rehabilitasi Lutung Jawa atau Javan Langur Center (JLC), The Aspinall Foundation Indonesia Program, bersama Balai Besar KSDA Jawa timur telah melepasliarkan lutung Jawa dengan total 73 individu yang tersebar di beberapa lokasi. Di antaranya di Suaka Margasatwa Dataran Tinggi Hyang, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, serta di kawasan Taman Hutan Raya R. Soerjo.

“Sejumlah lutung yang dilepasliarkan mampu bertahan hidup dan berkembang biak serta bergabung dengan populasi liar di habitat barunya,” kata Project Manager JLC, Iwan Kurniawan, Selasa (28/10/2014).

Menurut Iwan, ancaman umum yang menyebabkan penurunan populasi lutung Jawa di alam antara lain disebabkan degradasi dan hilangnya habitat akibat perluasan lahan pertanian serta pemukiman manusia. Perburuan untuk konsumsi makanan dan bertambahnya perdagangan untuk peliharaan juga menjadi sebab penurunan populasi.

Iwan mengungkapkan, pada kisaran 2003 – 2012 di kawasan Banyuwangi, Jember, Malang, dan Mojokerto, Jawa Timur, banyak lutung yang diburu untuk diambil dagingnya sebagai campuran bakso, serta makanan pendamping minuman keras. “Organ dalam lutung juga diambil guna obat sesak nafas, obat gatal, dan obat kuat,” kata Iwan.

Sejak 1999, lutung Jawa dimasukkan sebagai satwa yang dilindungi negara berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 733/Kpts-11/1999 tentang penetapan lutung Jawa sebagai satwa dilindungi. Spesies ini masuk kategori konvensi perdagangan internasional tumbuhan dan satwa liar (CITES) dalam Appendix II kategori Vulnerable (rentan).

Foto: greeners.co/H. Istiawan

Foto: greeners.co/H. Istiawan

Untuk mencegah kepunahan, JLC juga kerap menerima lutung Jawa sitaan dari masyarakat untuk direhabilitasi. Sudah lebih dari 30 individu yang dilepas di kawasan hutan Coban Talun, yang berada di kawasan hutan lindung Perhutani dan Tahura R Soerjo.

Menurut Iwan, semua lutung yang diterima JLC sebelum dilepasliarkan akan melalui tiga tahap adaptasi, yakni adaptasi lingkungan yang meliputi penyesuaian suhu, kelembapan udara, cuaca, dan lain-lain. Mereka juga harus beradaptasi dengan makanannya. Sebab, umumnya hasil sitaan biasanya tidak terbiasa dengan makanan di alam berupa dedaunan. Apalagi, lutung yang berasal dari kebun binatang Inggris yang diberi makan umbi-umbian sehingga tidak terbiasa dengan daun.

“Secara perlahan, mereka diberi dedaunan sampai benar-benar lupa terhadap makanan yang biasa dimakannya,” ujar Iwan.

Proses selanjutnya yang paling susah, kata Iwan, adalah adaptasi sosial. Sebab, adaptasi kelompok ini biasanya sering tidak cocok satu sama lain dan bertengkar antar individu. Biasanya butuh waktu 6 bulan hingga satu tahun lebih untuk membentuk satu kelompok yang solid dan bisa berkembang biak sehingga siap dilepas di hutan liar.

Kepala Resort KSDA Malang dan Batu, K Gunawan, mengatakan, pihaknya selalu mengirimkan lutung Jawa hasil sitaan dari masyarakat ke JLC agar bisa direhabilitasi dan selanjutnya dilepasliarkan di hutan. “Rata-rata dari peliharaan masyarakat,” ujar Gunawan.

Pihaknya juga secara berkala melakukan patroli guna mencegah upaya perburuan liar dan menekan perdagangan bebas satwa dilindungi yang dilakukan secara sembunyi. Sejauh ini, kata Gunawan, pihaknya masih konsentrasi memantau perdagangan satwa di pasar Splendid di Kota Malang. “Temuan terbaru yaitu perdagangan Jalak Bali yang penjualnya belum memiliki izin,” kata Gunawan.

(G17)

Top