Apakah anda pernah mengetahui pohon teureup? Teureup (Artocarpus Elasticus) atau terap atau dikenal juga sebagai pohon benda adalah tanaman yang berkerabat dekat dengan nangka, sukun, juga cempedak. Tanaman ini termasuk kedalam famili Moraceae dan genus Artocarpus.
Pohon ini juga memiliki nama lokal yang berbeda di beberapa daerah, seperti kalam (Mentawai), torop (Karo), Bakil (Melayu), dan tarok (Minangkabau). Dinamai benda, teureup (Sunda), bendha (Jawa), kokap (Madura), dan taeng (Makassar). Sedangkan di Kalimantan dikenal sebagai erap, kapua, kumut, atau pekalong.
Tinggi pohon teureup mencapai 40-65 m, ranting tebal dengan daun berwarna hijau lebar. Bunga bongkol dengan warna kuning dan cokelat sama persis dengan warna buahnya yang semu. Saat masak buah berbau kurang enak. Biji berbentuk ginjal, panjang 1-3 cm, sekilas buah mirip buah kluwih. Untuk musim berbunga umumnya bulan Juni-Agustus, sedangkan musim berbuah diprediksi antara Oktober-Desember.
Kulit pohon teureup berwarna abu-abu gelap hingga kelabu kecokelatan sedang bagian dalamnya kekuningan hingga cokelat pucat, teksturnya halus atau agak bersisik. Saat dilukai, kulit kayu mengeluarkan lateks tebal berwarna putih.
Tanaman ini menyukai tempat yang panas dan lembab. Pohon teureup hanya dapat tumbuh di permukaan tanah yang miring seperti tanah bekasan longsor, terkadang juga dapat dijumpai di pinggiran sungai.
Pohon ini memiliki khasiat, antara lain bijinya bisa dijadikan minyak rambut, kulit batangnya direbus untuk mengobati sakit perut, getahnya mampu menghentikan diare atau mencret, dan daunnya memiliki manfaat untuk mengatasi cacingan.
Di sisi lain, pohon teureup pun sering digunakan oleh masyarakat suku Baduy sebagai bahan dasar pembuatan kerajinan khas berupa tas yang dikenal dengan ‘koja’. Kerajinan tas koja diproduksi secara tradisional. Tas ini dipakai oleh masyarakat suku Baduy dalam berkegiatan sehari-hari.
Menurut Wardah dari Balai Penelitian Botani, Pusat Penelitian Biologi-LIPI dalam artikelnya memaparkan, kulit pohon teureup dikelupas dari batang yang cukup umur. Setelah dijemur sampai kering, kulit pohon dipilin-pilin seperti membuat benang dan disambung-sambung sampai panjang.
Masyarakat suku Baduy biasanya membawa tas ini dengan cara dijinjing pada bagian pundak atau disilangkan. Keunikan tas koja juga dapat dilihat dari ukuran yang bermacam-macam serta warna cokelat yang asli dihasilkan dari kulit pohon teureup, tanpa menggunakan pewarna buatan. Tas ini biasanya digunakan dalam kegiatan berladang, bercocok tanam, hingga menangkap ikan disungai. Belakangan ini, koja dijual untuk souvenir bagi wisatawan yang datang berkunjung ke Baduy.
Perlu waktu dua tahun agar pohon teureup dapat digunakan kembali sebagai bahan pembuatan tas koja. Pada tahun ke dua umur kulit teureup mampu memberikan kualitas yang terbaik dari segi kekuatan dan ketahanannya. Ketika tas tersebut sudah tidak terpakai oleh pemiliknya, tas koja ini akan membusuk secara alami, dan penggunaannya pun dimanfaatkan oleh masyarakat suku Baduy sebagai pupuk dan bahan pengobatan tradisional.
Suku Baduy, suku adat Sunda yang berada di wilayah Lebak, Jawa Barat, kental akan nilai-nilai tradisional dan nilai kearifan lokal. Mereka menjalin interaksi dengan alam tanpa harus saling merugikan atau merusak. Mereka menghormati etika alam (law of nature) dengan mengembangkan sejumlah norma atau nilai yang dianut oleh masyarakat.
Belajar dari interaksi dan kearifan suku Baduy terhadap alam, sudah sepatutnya kita memanfaatkan kekayaan alam yang dimiliki negeri ini dengan secukupnya dan arif tanpa mengeksploitasikannya secara berlebihan.
Penulis: Sarah R. Megumi