Jika ada nominasi hewan yang dijuluki “Penjelajah Samudra”, bisa jadi penyu adalah pemenangnya. Fakta menjelaskan bahwa penyu dapat menempuh jarak ribuan kilometer untuk bermigrasi bahkan hingga menyeberangi benua yang berbeda.
Letak geografis Indonesia yang unik, sangat menunjang persebaran hewan yang memiliki keunikan dari tempurung atau karapasnya. Penelitian ilmiah membuktikan bahwa Indonesia yang memiliki laut tropis hangat dan diapit oleh dua samudera yaitu Samudra Pasifik dan Hindia menjadi rute penting bagi migrasi penyu. Tak heran jika 6 dari 7 spesies penyu yang ada di dunia terdapat di Indonesia, antara lain jenis penyu sisik (Eretmochelys imbricate), Penyu Hijau (Chelonia mydas), Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea), Penyu Tempayan (Caretta caretta), Penyu Pipih (Natator depressus), dan Penyu Lekang (Lepidochelys olivacea).
Dalam artikel kali ini, kita tidak akan membahas satu per satu jenis-jenis penyu yang ada di perairan Indonesia, melainkan hanya fokus mengulas satu jenis penyu saja yaitu dari spesies Dermochelys coriacea atau penyu belimbing.
Penyu yang memiliki bentuk tempurung seperti buah belimbing ini merupakan hewan karnivora dengan makanan utama adalah ubur-ubur atau invertebrata berbadan lunak. Penamaan lokalnya pun beragam antara lain penyu raksasa, penyu kantong, penyu kantong gelising, tabob dan mabo. Diperkirakan titik peneluran penyu belimbing ini adalah di wilayah pantai utara Papua Barat, yaitu di Abun (WWF Indonesia).
Penyu belimbing memiliki bentuk kepala besar, bulat, tanpa adanya sisik seperti halnya penyu yang lain. Bentuk morfologi penyu jantan dan betina hampir sama, kecuali bentuk ekor pada penyu jantan lebih besar dan lebih panjang, serta pada plastron terdapat sedikit cekungan ke dalam. Berat tubuh spesies ini dapat mencapai 1.0 ton dengan panjang tubuh 215 cm (Pritchard 1971). Oleh karena itu penyu belimbing juga termasuk salah satu reptil terbesar di dunia. Ukurannya bisa sebesar kasur ganda.
Karapas penyu belimbing adalah sisik yang ditutup oleh lapisan kulit yang kasar dan berkaret, serta tidak menjadi satu dengan tulang belakang atau tulang rusuk. Pada bagian karapas juga ditemukan sejumlah kepingan-kepingan kecil berbentuk segi banyak dan bentuk deretan iga atau alur memanjang (longitudinal ridge) sebanyak 7 buah sedangkan pada karapas (plastron) sebanyak 5 buah alur. Pada penyu belimbing dewasa, warna karapasnya kehitam-hitaman atau coklat tua (Pritchard 1971).
Menurut sumber kajian ilmiah, dalam siklus hidupnya sebelum menetas atau saat masih di cangkang telur, penyu akan berkomunikasi dengan penyu lainnya dengan bersuara. Pada saat menjadi tukik atau ‘bayi penyu’, mereka akan melakukan perjalanan di laut sepanjang umurnya, lebih kurang 50 tahun. Pada masa dewasa tersebut, penyu selalu berada di perairan laut (benthic feeding zone) hingga ia bertemu pasangannya dan kawin.
Setelah tiba saatnya bertelur, penyu betina akan mendarat di pantai untuk membuat sarang dan bertelur. Penyu belimbing betina dapat bertelur empat sampai lima kali per musim, setiap kali sebanyak 60 sampai 129 telur. Selanjutnya penyu akan kembali mengembara ke laut hingga musim kawin tiba. Periode pertumbuhan penyu hingga dewasa pada masa pengembaraan ini dikenal sebagai “waktu yang hilang‟.
Seperti yang kita ketahui bahwa penyu belimbing telah bertahan hidup selama lebih dari ratusan juta tahun dan kini menghadapi ancaman kepunahan. Diperkirakan selama dua puluh tahun terakhir jumlah spesies ini menurun dengan cepat khususnya di kawasan pasifik, hanya sekitar 2.300 betina dewasa yang tersisa (WWF Indonesia).
Dikutip dari WWF Magazine (2016), ada empat peranan penting penyu bagi kehidupan. Pertama, menjaga keseimbangan ekosistem di lautan; kedua, meningkatkan pertumbuhan ekonomi sektor perikanan; ketiga, menjaga kesehatan karang; dan keempat, penyu dan habitatnya menjadi sarana bagi peningkatan ilmu pengetahuan manusia melalui penelitian.
Ancaman terbesar bagi penyu adalah perilaku manusia, selain predator seperti babi, biawak, elang, hiu dan kondisi lingkungan yang sangat mempengaruhi, seperti suhu pasir yang tinggi dan air pasang. Penggunaan alat kerja nelayan juga dapat mengancam kelangsungan hidup dan populasi penyu seperti penggunaan kail pancing yang tertelan penyu dan tersangkut jaring nelayan. Mirisnya lagi, fakta membuktikan bahwa sampah plastik banyak menyebabkan kematian pada penyu yang tidak sengaja mengonsumsi sampah plastik (baca Greeners.co edisi 15 Mei 2017).
Sebagai informasi, penyu berstatus spesies terancam (Endangered) berdasarkan IUCN Redlist. Lalu bagaimana upaya yang harus dilakukan untuk melindungi mereka? Pertama dengan menghindari konsumsi ataupun produk yang menggunakan bagian tubuh penyu dan kedua menjaga kebersihan dan ketenangan pantai peneluran dan tidak melakukan interaksi langsung dengan penyu. Kita juga dapat bergabung dengan instansi atau organisasi yang berkecimpung dalam program perlindungan dan konservasi penyu.
Penulis: Sarah R. Megumi