Wilayah timur Indonesia menyimpan daya pikat tersendiri dalam hal keanekaragaman hayati terutama tanaman rempah-rempah. Selain cengkih dan lada, pala merupakan rempah-rempah dari Maluku, khususnya kepulauan Banda, yang sudah sejak lama diincar oleh para saudagar dari Portugis dan Belanda.
Melalui perdagangan, pala dibawa ke seluruh dunia sampai ke Eropa. Tanaman pala tidak dapat tumbuh dengan baik di daerah lain, apalagi di Eropa. Oleh karena itu, pala menjadi salah satu target rempah-rempah yang sangat diincar oleh bangsa asing.
Berdasarkan informasi saat berkunjung ke Museum Nasional Sejarah Alam Indonesia yang berlokasi di Bogor (dulunya adalah Museum Etnobotani Indonesia), tanaman pala (Myristica fragrans) merupakan pohon hutan yang kecil, tinggi sekitar 18 m dan termasuk dalam family Myristicaceae yang mempunyai sekitar 200 spesies. Tanaman ini tumbuh baik di bawah keteduhan pohon tinggi lainnya.
Kulit kayunya berwarna abu-abu tua, tipis, dan apabila digores menghasilkan cairan merah yang ketika kering berwarna gelap sampai warna darah kering. Sementara daun pala berbentuk bulat telur, pangkal dan pucuknya meruncing. Warna bagian bawah daun hijau kebiru-biruan muda dan bagian atasnya hijau tua.
Tanaman pala rata-rata mulai berbuah pada umur 5 – 6 tahun. Setelah mencapai umur 10 tahun produksi buahnya mulai meningkat hingga mencapai optimum pada umur rata-rata 25 tahun. Produksi umum ini bertahan hingga tanaman pala berumur 60-70 tahun. Tanaman pala dapat berbunga berumah dua (dioecus) yang berarti ada pohon pala yang berbunga betina saja dan ada yang berbunga jantan saja (Rismunandar, 1992).
Buah berbentuk bulat, lebar, ujungnya meruncing. Kulit buahnya licin dan berwarna kuning saat matang, dan daging buahnya cukup banyak mengandung air. Di dalam buah pala terdapat biji pala (nutmeg) dan pembungkus biji (fuli atau mace). Biji dan fuli yang berukuran kecil dan cacat dijadikan serbuk untuk disuling, dikempa atau dijadikan oleoresin (Harris, 1987). Pada buah yang masih muda, kadar minyak atsiri yang dikandung terbilang tinggi.
Biji pala merupakan biji tunggal, berkeping dua, dilindungi oleh tempurung, walaupun tidak tebal namun cukup keras. Bentuk bijinya bulat telur lonjong, bila sudah tua warnanya coklat tua. Tempurung biji di selubungi oleh selubung biji/fuli yang berbentuk jala dan berwarna merah terang. Warnanya ini yang menarik hewan utama persebaran biji pala yaitu kawanan merpati besar (Ducula concinna).
Multiguna
Seluruh bagian buah pala yang terdiri dari daging, fuli dan biji memiliki banyak manfaat dan paling tinggi nilai ekonominya (Rismunandar, 1992). Oleh masyarakat, pala biasanya dimanfaat sebagai bahan penyedap, pengawet, obat, parfum dan kosemetik.
Biji buahnya dijual dan dimanfaatkan sebagai tambahan bumbu masakan yang dapat menghangatkan tubuh. Umumnya digunakan pada makanan manis seperti produk roti, produk minuman, makanan penutup (dessert), hingga bumbu dalam masakan daging. Sementara itu, fuli pala digunakan sebagai bahan penambah rasa pada produk roti, seperti cake, cookies, pie, dan topping, juga sebagai bumbu pada masakan laut, pikel dan minuman (Agoes, 2010).
Di negara-negara Asia Tenggara buah pala dibuat menjadi manisan, dimakan segar, atau dibuat jus. Bubuk pala dipakai sebagai penyedap untuk kue, puding, sayuran dan minuman penyegar (Trubus, 2012). Daging buah pala juga dapat digunakan menjadi obat kumur mengobati sariawan. Pala bersifat karminatif (peluruh angin), stomakik, stimulan, spasmolitik, dan anti mual (Sunanto, 1993).
Harga jual pala umumnya cukup tinggi, meskipun demikian ekspor buah pala sewaktu-waktu dapat mengalami penurunan yang diakibatkan oleh penurunan mutu buah pala. Penurunan mutu tersebut biasanya disebabkan oleh waktu panen yang kurang tepat dan penanganan pascapanen yang kurang baik.
Sejarah mencatat bahwa Kepulauan Banda adalah “Harta Karun Tersembunyi” Indonesia, dimana di wilayah ini tersimpan kekayaan sumber daya alam yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Pada laman nationalgeographic.co.id disebutkan bahwa Banda menghasilkan rempah-rempah seperti pala yang menjadi sumber penghidupan bagi petani pala di perdagangan antar negara. Emas pun tak mampu menandingi betapa bernilainya rempah-rempah ini. Tantangan yang dihadapi saat ini adalah bagaimana menjaga keberadaan tanaman pala dari ancaman kelangkaan.
Penulis: Sarah R. Megumi