Hewan yang bergerak lamban dan memiliki rupa yang lucu sangat mudah menjadi incaran para pemburu hewan, contohnya saja seperti hewan kukang Jawa (Nycticebus javanicus). Ancaman serupa juga terjadi pada hewan kuskus.
Kuskus adalah hewan endemik berkantung (tergolong marsupialia). Berdasarkan beberapa sumber, penyebaran kuskus tersebar hampir di seluruh Indonesia bagian timur. Hewan berkantung ini termasuk dalam famili Phalangeridae. Menurut para ahli, satwa ini digambarkan bertubuh agak besar dan kokoh, juga memiliki panjang seukuran ternak babi berumur dua bulan. Genus yang termasuk spesies kuskus yakni Ailurops, Phalanger, Spilocuscus, dan Strigocuscus. Pola pewarnaan bulu mereka pun dibedakan dalam dua genus, yaitu genus Spilocuscus dan Phalanger yang masing-masingnya terdiri dari 3 sampai 8 jenis.
Di Papua terdapat dua jenis kuskus, yaitu kuskus bertotol (Spilocuscus) dan kuskus tidak bertotol (Phalanger). Salah satu jenis kuskus yang merupakan satwa endemik papua adalah Spilocuscus papuensis dan Spilocuscus rufoniger. Sementara di kepulauan Sulawesi terdapat tiga jenis kuskus endemik yaitu Ailurops ursinus, Phalanger pelengensis dan Strigocuscus celebensis.
Kepulauan Maluku juga menjadi tempat tinggal bagi beberapa jenis kuskus endemik yaitu Phalanger ornatus, Phalanger rothschildi, Phalanger sp. dan Spilocuscus sp. Selain di Indonesia, kuskus juga dapat ditemukan di New Guinea dan sebagian daerah Australia.
Kuskus memiliki ekor yang panjang dan kuat yang dapat membantunya saat memanjat pohon. Matanya bulat, telinga kecil, memiliki bulu yang tebal mirip wol dengan warna yang beragam sesuai dengan genusnya masing-masing menjadi keunikan tersendiri dari satwa marsupialia ini. Pada betina terdapat kantung sebagai tempat menggendong anaknya.
Habitat kuskus berada di areal hutan primer yang belum banyak terganggu dengan jenis pohon yang rimbun. Mereka biasa melakukan aktifitas di malam hari (nokturnal) dan beristirahat di siang hari pada pepohonan. Cara tidurnya pun sangat lucu, terkadang kuskus beristirahat dengan membungkuk dan memeluk batang pohon pada kondisi tajuk yang rimbun atau terbuka (dikutip dari portal biovasi09unipa.blogspot.co.id). Kuskus juga sering mengonsumsi berbagai jenis makanan seperti sayuran, buah-buahan, jagung dan makanan lain yang banyak mengandung serat.
Populasi kuskus semakin menurun akibat ancaman deforestrasi dan banyak diburu. Melalui data IUCN, marsupialia langka dari Indonesia ini dikategorikan Endangered Species, dalam CITES digolongkan Appendiks II. Adapun faktor-faktor yang melatar-belakangi perburuan liar yang dilakukan oleh masyarakat setempat antara lain unsur kebudayaan, konsumsi, diperdagangkan secara ilegal, dipelihara, diambil kulit sebagai bahan tas dan dijadikan hiasan.
Kuskus di Indonesia sendiri telah dilindungi sejak tahun 1990 melalui Peraturan Perburuan Binatang Liar (PPBL) No. 226 /1931, UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, dan UU No. 7/1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Perburuan kuskus yang dilakukan secara terus-menerus dipastikan akan menyebabkan terjadinya penurunan jumlah populasi bahkan dapat mencapai angka kepunahan. Studi kasus di Desa Lumoli, Kabupaten Seram Bagian Barat, Maluku, berdasarkan informasi dari masyarakat lokal setempat menunjukkan bahwa kuskus masih diburu oleh masyarakat untuk dikonsumsi dagingnya serta diambil rambutnya (dikutip dari penelitian Usmany et al, Universitas Patimura pada jurnal Sain Veteriner, 2015).
Hutan merupakan surga bagi kehidupan kuskus, dimana hutan sebagai tempat berkembang biak, beristirahat dan mencari makanan. Sangatlah disayangkan kegiatan deforestasi tanpa henti memaksa mereka untuk merubah kondisi ekologi dan jam biologisnya. Aktifitas ini dikhawatirkan akan mengancam kelangsungan hidup mereka, bahkan kepunahan kuskus.
Deforestasi dan perburuan liar memiliki kaitan yang sangat erat, sudah sepatutnya hal ini tidak dipandang sebelah mata oleh segala pihak dan kalangan. Siapa lagi yang akan bercerita keunikan dari satwa khas Indonesia kepada anak-anak dan cucu kita di masa depan jika satwanya saja harus punah bukan karena dimakan oleh waktu namun karena kerakusan manusia.
Penulis: Sarah R. Megumi