Kukang (Nycticebus spp.) merupakan salah satu jenis satwa liar yang dilindungi oleh negara. Berdasarkan daftar merah IUCN, populasi hewan nocturnal tersebut terus mengalami penurunan seiring tingginya aktivitas perburuan dan perdagangan satwa secara ilegal.
Dari sekian banyak spesies Nycticebus yang ada di dunia, para ahli mengklaim hanya ada lima spesies yang mampu bertahan hidup. Tiga di antaranya berada di Indonesia.
Ketiga spesies tersebut adalah Nycticebus coucang (Kukang Sumatra), Nycticebus menagensis (Kukang Kalimantan), dan Nycticebus javanicus (Kukang Jawa).
Berdasarkan data yang sama, spesies N. javanicus masuk dalam status kritis. Sedangkan spesies N. coucang dan N. menagensis tergolong sebagai satwa yang cukup rentan.
Ciri-Ciri Kukang berdasarkan Jenisnya
Secara umum, warna rambut di tubuh kukang (disebut juga Malu-Malu) adalah campuran warna putih dan cokelat. Hewan ini memiliki mata bulat dengan corak cokelat muda hingga cokelat gelap.
Tergolong sebagai primata primitif, malu-malu memiliki ciri khas yang sedikit berbeda dari primata kebanyakan. Ciri khas satwa ini antara lain mempunyai hidung basah, serta indera penglihatan yang baik saat gelap.
Kendati demikian bila kita perhatikan secara seksama, kita dapat mengetahui jika ketiga spesies hewan tersebut mempunyai ciri fisik yang berbeda-beda, yakni:
1. Morfologi Kukang Jawa
Kukang jawa memiliki panjang tubuh 320-380 mm. Ekor fauna ini terlihat pendek dan melingkar dengan panjang antara 10-20 mm, sedang berat tubuhnya hanya berkisar 375-1.350 g saja.
Rambut hewan tersebut terlihat kelabu keputih-putihan. Pada bagian dorsalnya, terdapat garis cokelat kehitaman memanjang dari kepala hingga ke pangkal ekor.
Satwa ini memiliki lingkaran bulat di sekitar mata berwarna cokelat, yang tampak menyerupai kacamata.
2. Morfologi Kukang Sumatra
Panjang kukang sumatra mencapai 27-38 cm, dengan berat tubuh berkisar 600-700 g. Mereka memiliki kepala yang bulat dengan moncong pendek dan tubuh gempal.
Jika kita bandingkan dengan N. javanicus, spesies ini jelas lebih kecil. Namun, ia lebih besar ketimbang N. menagensis atau malu-malu Kalimantan.
Ekor dan telinga hewan ini berukuran kecil, biasanya tersembunyi di balik bulu-bulunya. Warna dari bulu tersebut tampak kemerahan, dengan garis cokelat terbentang di sepanjang punggungnya.
3. Morfologi Kukang Kalimantan
Kukang kalimantan adalah spesies malu-malu terkecil yang ada di Indonesia. Hewan ini mempunyai panjang berkisar 260 mm dengan bobot tubuh antara 265-610 g.
N. menagensis sendiri memiliki pola perwarnaan wajah yang gelap kontras, dengan cincin berbentuk membundar atau kadang-kadang membaur di sekeliling bagian matanya.
Tepi bawah cincin tersebut tidak pernah melewati tulang pipi mereka. Bagian telinganya tampak berambut panjang, dengan bagian pucat berbentuk pita di depan telinganya yang lebar.
Kebiasaan dan Pola Hidup Malu-Malu
Seperti namanya, kukang mempunyai gerakan yang lambat atau terlihat malu-malu. Hewan ini tergolong sebagai satwa penyendiri, serta menghabiskan sebagain besar waktunya di atas pohon.
Aktivitas malu-malu biasanya mulai pada pukul 6 sore hingga 5 pagi. Setelah itu, fauna tersebut akan mencari lokasi yang nyaman untuk beristirahat.
Salah satu lokasi tidur favorit Nycticebus adalah bagian atas pohon berdaun rimbun. Bagian tersebut biasanya cukup gelap, sehingga mampu menghalangi sengatan sinar matahari saat siang hari.
Meski berwajah menggemaskan, nyatanya malu-malu mempunyai mekanisme pertahanan diri yang cukup kuat, lho. Mereka memiliki gigi yang tajam, serta mengandung bisa yang berbahaya.
Uniknya bisa tersebut sebenarnya bukan berasal dari mulut mereka, melainkan pada bagian ketiak yang terkumpul saat mereka melakukan grooming atau membersihkan diri.
Ketika membersihkan diri kukang akan menjilati bagian tubuhnya (termasuk ketiak) hingga bersih. Pada saat itulah bisa-bisa tersebut menempel, lalu terkumpul di mulut serta gigi-gigi mereka.
5 Alasan Mengapa Kita Tidak Boleh Memburu dan Memelihara Kukang
Aktivitas perburuan dan perdagangan kukang sudah harus segera kita akhiri. Selain faktor populasi, setidaknya ada lima alasan lain mengapa hewan tersebut tidak boleh menjadi objek perburuan maupun hewan peliharaan.
1. Tergolong sebagai Satwa yang Dilindungi
Berdasarkan UU No. 5/1990 tentang Konservasi SDA Hayati dan Ekosistem, pemerintah melarang masyarakat untuk mengeksploitasi fauna ini. Termasuk melarang perburuan, pemeliharaan, perjualbelian, maupun memanfaatkan bagian tubuhnya.
Ancaman hukum bagi para pelanggar tidak main-main, yakni kurungan penjara maksimal 5 tahun dan denda sebesar Rp100 juta.
2. Gigitan Kukang Berbahaya bagi Manusia
Seperti yang telah saya sebutkan, gigi dan lidah kukang mengandung bisa beracun yang cukup berbahaya. Bukan cuma bagi predatornya, bisa tersebut juga berisiko tinggi bagi manusia.
Salah satu dampak akibat gigitan hewan tersebut adalah alergi serius dengan gejala kulit merah, gatal, kejang otot, demam hingga pingsan.
3. Memotong Giginya Tidak menjadi Solusi
Sebelum memperjualbelikan satwa ini, para pemburu ilegal biasanya memotong gigi mereka, agar risiko gigitannya berkurang. Nyatanya, langkah tersebut justru salah besar dan sangat berbahaya.
Memotong gigi Nycticebus sama dengan membunuh mereka. Pasalnya, hewan ini akan lebih mudah terinfeksi dan menderita karena kesulitan untuk mengunyah makanan.
4. Malu-Malu Menyimpan Potensi Zoonosis
Zoonosis adalah penyakit yang dapat menular dari hewan kepada manusia ataupun sebaliknya. Menurut beberapa penelitian, malu-malu memiliki potensi zoonosis berupa cacingan.
Cacing gilik dan pipih adalah dua jenis cacing yang terdapat pada fases satwa tersebut. Penularan penyakit ini bisa jadi karena kontak langsung ataupun udara yang terhirup oleh manusia.
5. Kandang Bukanlah Habitat Terbaik Kukang
Sobat Greeners, tidak ada satupun hewan yang tercipta untuk berakhir di dalam kandang, termasuk malu-malu. Satwa ini semestinya hidup di hutan, memakan buah-buahan hingga menghisap madu bunga.
Sebaik apapun “habitat” yang Anda ciptakan, hal tersebut tentu berbeda dengan tempat tinggal aslinya. Mereka tidak akan merasa nyaman hidup dan tinggal berdampingan dengan manusia.
Taksonomi Kukang
Referensi:
Gono Semiadi, dkk., Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
Endah Septi Fauzi, Universitas Indonesia
Nora Fery Matondang, dkk., Universitas Lampung
Penulis: Yuhan Al Khairi
Editor: Ixora Devi