Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat biodiversitas yang tinggi, dan memiliki keanekaragaman amfibi kedua di dunia setelah Brazil, yaitu sekitar 392 spesies. Sejumlah 176 spesies diantaranya merupakan amfibi endemik Indonesia yang tidak ditemukan di negara lain, salah satunya Kodok Merah.
Sayangnya, menurut Global Amphibian Assessment (GAA), 10% amfibi Indonesia berada dalam risiko kepunahan, dan termasuk di dalamnya spesies Leptophryne cruentata atau Kodok merah.
Kodok merah merupakan salah satu jenis kodok endemik yang paling langka, dan hanya dapat ditemukan di beberapa lokasi di Pulau Jawa. Lebih tepatnya lagi kodok merah hanya bisa ditemukan di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango dan Taman Nasional Gunung Halimun-Salak.
Nama latin kodok ini yaitu “cruentus” yang berarti berdarah, sedangkan dalam penamaan bahasa Inggris disebut Bleeding Toad. Penamaan lokalnya kodok merah dikenal juga sebai “bintik merah” mengacu pada bercak merah kecil yang menjadi ciri khas jenis ini.
Berbagai sumber mengatakan jika kodok ini hidup di daerah dekat air yang mengalir deras pada ketinggian 1000 – 2000 mdpl dengan kisaran suhu 10-24oC dan memiliki kelembaban tinggi antara 60-100%.
Ada informasi yang mengatakan kodok merah umumnya ditemukan hidup di hutan pegunungan hingga 1.600 m dpl. Tempat yang disenanginya adalah tepian sungai-sungai kecil atau sungai yang mengalir lambat. Kodok ini aktif pada malam hari (nocturnal) dan umumnya hidup di permukaan tanah (terestrial).
Ciri khas yang mencolok dari kodok ini ialah mereka memiliki warna yang khas. Berdasarkan booklet yang dikeluarkan gedepangrango.org, “Mengenal Katak di Taman Nasional Gunung Pangrango” menerangkan bahwa warna tubuh kodok ini yaitu cokelat kehitam-hitaman, dengan sedikit bercak-bercak warna merah dan kuning.
Kadang ada individu-individu dengan tanda jam pasir, dengan pinggiran merah dan kuning di tengah-tengah hitam, atau ada juga individu-individu dengan bercak kuning tersebar di seluruh warna hitam. Bagian bawah berwarna kemerahan atau kekuningan.
Masih dalam sumber yang sama, dijelaskan jika kodok ini memiliki tampilan umum yaitu ukuran tubuhnya yang relatif kecil dan ramping. Kelenjar racun (paratoid) tidak nampak dengan jelas. Tidak terdapat alur bertulang di kepala.
Ujung jari tangan dan kaki kodok ini agak membengkak. Ukuran kodok jantan dewasa yaitu 20 mm– 30 mm, sedangkan untuk yang betina yaitu 25 mm– 40 mm. Tekstur kulitnya pun dipenuhi bintil-bintil ukuran kecil.
Sangat disayangkan bahwa Kodok Merah masuk dalam daftar merah The International Union for Conservation of Nature (IUCN Redlist), dengan status Kritis (Critically Endangered/CR).
Namun disisi lain, kabar menggembirakan pun datang dari adanya penemuan kodok jenis baru dari marga Leptophryne yang ditemukan di Gunung Slamet dan Taman Nasional Gunung Ciremai.
Penemuan ini merupakan hasil peneliti gabungan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Universitas Negeri Semarang, Institut Pertanian Bogor, dan Balai Taman Nasional Gunung Ciremai, dan dipublikasikan melalui publikasi ilmiah Zootaxa Vol. 4450 No 4 (427-444).
Dalam jurnal tersebut tertulis, kodok yang kini diberi nama Leptophryne javanica merupakan jenis berbeda dengan yang ada di Gunung Gede Pangrango dan Halimun Salak. Secara kasat mata, baik L. cruentata maupun L. javanica memiliki karakter yang hampir sama.
Perbedaan yang bisa dilihat hanya pada pola bercak yang dimiliki keduanya. L. javanica konsisten berwarna kuning dengan warna tubuh gelap, sementara L. cruentata memiliki warna bercak totol kemerahan.
Adapun berbagai faktor yang memengaruhi penurunan populasi kodok di antaranya adalah terdegradasinya habitat, infeksi jamur Batrachochytrium dendrobatidis dan perburuan untuk diperjualbelikan. Kerusakan habitat berperan besar bagi keberlangsungan hidupnya, mengingat ia mendiami habitat spesifik yang sangat sesitif terhadap perubahan.
Penulis : Sarah R. Megumi