Kodok Buduk atau Bangkong Kolong merupakan salah satu spesies kodok dari kelas Amfibia. Ia memiliki persebaran yang sangat luas, serta jamak publik temukan berada di lingkungan tempat tinggal. Karena itu, banyak pula yang menyebut hewan ini sebagai Kodok Rumah.
Mulanya, spesies bangkong kolong memiliki nama ilmiah Bufo melanostictus. Namun sejak tahun 2006, nama tersebut ahli ganti menjadi Duttaphrynus melanostictus berdasarkan tinjauan DNA.
Bukan cuma itu, secara fisik D. melanostictus mirip dengan Anaxyrus boreas (Kodong Bangkong). Mereka datang dari keluarga yang sama (Bufonidae), meski secara genetik ahli anggap berbeda.
Di Tanah Air kodok buduk dapat kita temukan di hampir seluruh wilayah, mulai dari Sumatera sampai Papua. Sebab itu, tak heran jika julukan hewan tersebut pakar nilai sangat beragam.
Habitat, Persebaran, dan Kebiasaan Kodok Buduk
Kodok buduk sendiri adalah julukan yang disematkan oleh warga Betawi. Ia masyarakat Jawa kenal sebagai Kodok Berut/Kerok, serta Kodok Brama untuk subspesies yang berwarna kemerahan.
Melihat peta persebarannya, kawanan bangkong kolong terdistrusi mulai dari dataran India, Republik Rakyat Tiongkok bagian selatan, kawasan Indochina, sampai ke barat Indonesia.
Kebiasaan hewan tersebut terbilang sangat unik. Mereka bergerak dengan cara melompat-lompat pendek, lalu bersembunyi di bawah tumpukan batu, kayu, atau sudut-sudut bangunan rumah.
Sebagai hewan nokturnal, kodok buduk lebih aktif di malam hari dan kembali ke persembunyiannya pada waktu subuh. Mereka hidup secara berkelompok sebanyak 6 – 7 ekor di dalam satu sarang.
Uniknya menurut penelitian ahli, bangkong kolong memiliki asosiasi erat dengan lingkungan hidup masyarakat. Mereka terus memperluas daerah sebarannya mengikuti aktivitas manusia.
Pola Kawin atau Reproduksi Kodok Buduk
Kolam dan selokan menggenang adalah lokasi favorit kodok buduk untuk berkembang biak. Proses ini biasanya terjadi saat malam bulan purnama, yang ditandai dengan menggemanya suara mereka.
Fungsi suara pada spesies kodok berut memang untuk menarik perhatian sang betina. Suara tersebut biasanya berbunyi, “rrrk-rrrk” atau “oorek-orek-orek-orekk” dengan ritme riuh rendah.
Pada saat musim kawin, puluhan pasang kodok akan terlihat berada di satu kolam. Jika jumlah betina sangat sedikit, tak jarang aksi “kumpul-kumpul” tersebut berakhir dengan perkelahian.
Karena itu, pejantan akan memeluk erat punggung betina selama proses kawin berlangsung. Untuk mempertahankan posisi ini, tak jarang mereka mengalami luka-luka di moncong maupun ketiaknya.
Perlu Anda ketahui, proses reproduksi kodok sendiri terjadi di luar tubuh induk betina. Sedang posisi menempelnya kodok jantan ke punggung sang betina biasa pakar sebut sebagai ampleksus.
Deskripsi Kodok Buduk berdasarkan Ciri Fisiknya
Lantas, bagaimana sih tampilan fisik D. melanostictus? Secara morfologi, kodok buduk memiliki ukuran tubuh sedang. Saat dewasa, ia dapat kita tandai dari perutnya yang gendut dan berbintil.
Bintil-bintil ini bertekstur kasar, serta menyelimuti hampir seluruh bagian badan mereka. Jika kita ukur, panjang tubuh bangkong jantan mencapai 55 – 80 mm sedang betina berkisar 65 – 85 mm.
Di atas kepala mereka terdapat gigir keras menonjol yang bersambungan. Gigir ini umumnya berwarna kehitaman, mulai dari atas moncong sampai ke atas timpanum (gendang telinga).
Sepasang kelenjar parotoid (kelenjar racun) berukuran besar dan panjang terdapat di atas tengkuk hewan tersebut. Kelencer inilah yang mereka gunakan untuk membela diri saat merasa terancam.
Warna punggung kodok buduk bervariasi, mulai dari cokelat abu-abu gelap, kuning, merah, sampai hitam. Sisi bawah tubuhnya berwarna putih keabu-abuan, dengan telapak tangan berwarna hitam.
Selaput renang yang terdapat pada kaki hewan tersebut terukur cukup pendek. Spesies bangkong kolong jantan sendiri dapat kita tandai dari warna dagunya yang kusam kemerahan.
Taksonomi Duttaphrynus Melanostictus
Penulis: Yuhan Al Khairi