Kelelawar sering kali dikaitkan sebagai pembawa penyakit zoonosis atau penyakit yang dapat ditularkan dari binatang ke manusia. Bahkan virus Corona yang tengah menyebar di Cina diduga berasal dari binatang salah satunya kelelawar. Namun, masih terdapat perbedaan pendapat di antara para ahli kesehatan apakah virus berasal dari kelelawar dan kemudian ditularkan ke manusia atau dari spesies lain.
Kelelawar termasuk dalam anggota kelas mamalia yang tergolong dalam ordo Chiroptera. Sebutan kelelawar dalam penamaan lokal antara lain lawa, lowo, kampret, codot (Jawa), lalai, kampret (Sunda), cecadu, tayo, kusing, prok, hawa (suku Dayak di Kalimantan), atau lawa, niki, paniki oleh masyarakat Indonesia Timur).
Kelelawar memiliki jumlah spesies terbanyak kedua setelah mamalia pengerat dalam kelas mamalia. Jumlah spesies kelelawar yang melimpah sangat bermanfaat bagi alam itu sendiri. Keberadaannya sangat penting bagi kehidupan manusia karena perannya sebagai pemencar biji buah-buahan (Hodgkison et al. 2003) dan juga sebagai penyerbukan bunga maupun buah-buahan.
Baca juga: Ngengat Atlas, Kupu-Kupu Malam Terbesar di Dunia
Kelelawar merupakan binatang nokturnal yang mencari makan pada malam hari dan beristirahat di siang hari. Hewan ini mempunyai tempat tinggal yang sangat bervariasi. Ada yang bertengger di pohon, lubang pohon, gua, gulungan dedaunan, dan celah-celah pada ruas bambu (Hill & Smith 1984).
Kelelawar tergolong fauna yang memiliki kemampuan ekolokasi karena dapat memanfaatkan gua sebagai tempat tinggal (trogloxene). Ekolokasi merupakan salah satu bentuk adaptasi dari makhluk hidup yang tidak memiliki indera penglihatan sempurna.
Berdasarkan jenis makanan, kelelawar di Indonesia dibagi menjadi dua subordo, yaitu subordo Megachiroptera yang terdiri atas 1 famili, 41 genus, dan 163 spesies. Sedangkan, subordo Microchiroptera yang terdiri atas 17 famili, 147 genus, dan 814 spesies (Corbet & Hill 1992, Flannery 1995).
Megachiroptera adalah kelelawar pemakan buah, daun, nektar, dan serbuk sari. Sedangkan Microchiroptera merupakan jenis yang mayoritas memakan serangga dan hanya sebagian kecil memakan buah dan nektar (Yalden & Morris 1975). Di Indonesia, diperkirakan terdapat 72 spesies subordo Megachiroptera dan 133 spesies subordo Microchiroptera.
Morfologi kelelawar dapat dibedakan berdasarkan ukuran tubuh luar, seperti panjang ekor, panjang kaki belakang, bobot tubuh, ekor, bola mata, telinga, dan rambut. Perbedaan ukuran tubuh dapat diketahui berdasarkan jenis pakannya. Untuk Megachiroptera dan Microchiroptera memiliki perbedaan sifat dan morfologi yang cukup mencolok.
Baca juga: Tarsius, Penghuni Malam Yang Butuh Perhatian
Secara morfologi megachiroptera umumnya memiliki ukuran tubuh besar. Dengan bobot mencapai lebih dari 1500 gram dan berekor panjang serta moncong mirip anjing. Pada Microchiroptera ukurannya lebih kecil, yakni paling kecil 2 gram dan paling besar 196 gram, berekor pendek atau tidak memiliki ekor (Suyanto 2001).
Megachiroptera lebih menggunakan penglihatan saat terbang, memiliki mata yang menonjol dan terlihat dengan jelas, serta memiliki cakar pada jari kedua (Flannery 1995, Suyanto 2001). Sedangkan, Microchiroptera menggunakan ekolokasi sebagai orientasi saat terbang, memiliki mata yang kecil, mempunyai tragus dan anti-tragus, yaitu bagian menyerupai tangkai yang terletak di dalam telinga.
Kelelawar merupakan mamalia yang memiliki jumlah eritrosit (sel darah merah) dan kadar hemoglobin lebih besar daripada mamalia lain. Pada saat terbang, kelelawar memerlukan banyak oksigen untuk pemenuhan energi. Untuk mencapai target kebutuhan oksigen, ia mengandalkan besarnya jumlah eritrosit dan kadar hemoglobin yang ada di dalam tubuh.
Adapun faktor-faktor utama yang mempengaruhi keanekaragaman, kelimpahan, dan aktivitas suatu jenis kelelawar pada suatu habitat. Mengutip tulisan penelitian Nur Shalekah (2019), antara lain struktur fisik habitat, mikroklimat habitat (iklim lingkungan), ketersediaan mangsa dan sumber air, kedekatannya dengan tempat bertengger, keamanan dari predator, dan kompetisi.
Penulis: Sarah R. Megumi