Tren gaya hidup yang mulai kembali mengarah ke alam menandakan bahwa sesuatu yang alami tidak lagi terkesan kampungan atau ketinggalan jaman, termasuk memanfaatkan tumbuhan yang sudah lama dikenal sebagai obat herbal tradisional. Meski alami, memanfaatkan tanaman berkhasiat obat tidak bisa sembarangan karena ada yang mengandung racun. Salah satunya tumbuhan kecubung.
Kecubung (Datura metel) ditemukan oleh ahli botani bernama Charles Linnaeus pada tahun 1753. Tumbuhan ini merupakan tumbuhan tropis yang dapat ditemukan di Asia Selatan dan Tenggara, termasuk India, Sri Lanka, Indonesia dan Benua Amerika. Kecubung ada beberapa jenis, diantaranya kecubung gunung marga Brugmansia, kecubung pendek, dan kecubung wuluh marga Datura.
Kecubung tumbuh di dataran rendah sampai ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Tumbuh di tempat-tempat terbuka di tanah yang mengandung pasir dan tidak begitu lembap dengan iklim yang kering. Menurut Van Steeins (1997), selain tumbuh liar di ladang-ladang, kecubung sering ditanam di halaman rumah sebagai tanaman pagar atau tanaman hias.
Kecubung termasuk tumbuhan jenis perdu yang mempunyai pokok batang kayu dan tebal, bercabang banyak, tumbuh dengan tinggi kurang dari dua meter. Daun kecubung berwarna hijau berbentuk bulat telur, tunggal, tipis, dan pada bagian tepinya berlekuk-lekuk tajam dan letaknya berhadap-hadapan. Ujung dan pangkal daun meruncing dan pertulangannya menyirip.
Bunganya merupakan bunga tunggal menyerupai terompet dan berwarna putih atau lembayung. Panjang bunga lebih kurang 12-18 cm, bunga bergerigi 5-6 dan pendek 3-5 cm. Bunga mekar di malam hari, membuka menjelang matahari tenggelam dan menutup pada sore hari.
Beralih ke bagian buahnya, buah kecubung berbentuk hampir bulat yang salah satu ujungnya didukung oleh tangkai tandan yang pendek dan melekat kuat. Bagian luar buah dihiasi duri-duri pendek dan bagian dalamnya berisi biji-biji kecil warna kuning kecoklatan. Buah muda berwarna hijau muda sedangkan saat buah matang buah berwarna hijau tua. Diameter buah sekitar 4-5 cm.
Sejumlah kajian ilmiah menyatakan bahwa kecubung dengan bunga putih sering dianggap paling beracun dibanding jenis kecubung lainnya yang juga mengandung zat alkaloid. Seperti pada beberapa tanaman yang memiliki manfaat yang sama seperti akar tuba, daun bandotan dan biji karet, tanaman kecubung mengandung senyawa alkaloid tropan yang sangat beracun.
Tumbuhan ini mengandung senyawa alkaloid tropan seperti hyoscyamine (daturine), hyoscine, dan atropine sedangkan bijinya mengandung alkaloid yang berefek halusinogen dan anticholinergic, diketahui menyembuhkan penyakit asma, bronkitis, meringankan rasa sakit dan sering digunakan sebagai anestesi. Alkaloid dalam tumbuhan kecubung terbanyak terdapat di dalam akar dan biji dengan kadar antara 0,4-0,9%, sedangkan dalam daun dan bunga hanya 0,2-0,3%.
Kandungan senyawa aktif dari kecubung ini apabila digunakan dalam dosis yang tepat dapat membuat ikan pingsan dalam waktu yang relatif lebih cepat dibandingkan dengan menggunakan suhu rendah (es batu) dan tanpa meninggalkan residu (bahan kimia sintetik).
Menurut data BNN (2014), kecubung sering disalahgunakan sebagai bahan narkotika dan penggunaannya tercatat mencapai 3% dari kelompok halusinogen lainnya. Efek yang dihasilkan dari konsumsi kecubung serupa dengan penggunaan LCD, magic mushroom atau marijuana yang juga memiliki kandungan alkaloid jenis halusinogen.
Terlepas dari efek halusinogen pada tanaman ini, di Kabupaten Kepulauan Yapen di Papua tanaman ini digunakan untuk mengurut kaki yang keseleo. Cara penggunaannya adalah dengan memakai kira-kira 1-3 bunga terompet dari kecubung dicampur dengan minyak kelapa murni yang dibuat sendiri, didiamkan selama satu minggu, setelah itu ditambahkan minyak tawon dan minyak kayu putih. Campuran tadi selanjutnya digunakan untuk mengurut kaki yang keseleo.
Penulis: Sarah R. Megumi