Ekidna moncong panjang barat atau Zaglossus bruijni merupakan salah satu dari empat jenis satwa bergenus Zaglossus di dunia. Hewan ini menjadi salah satu fauna endemis Papua yang diduga sebagai hasil evolusi dari leluhur mamalia yang bertelur (monotremata) selama periode Paleogen yakni, 65,5 hingga 23 juta tahun lalu.
Sebagian besar spesies ini tinggal di Semenanjung Vogelkop, di ujung Barat Pulau New Guinea, Provinsi Papua Barat, Indonesia. Satwa ini juga disebut berada di Pulau Batanta dan Waigeo, Papua Barat. Ekidna moncong panjang barat ini berhabitat di hutan perbukitan tropis atau hutan pegunungan bagian atas.
Baca juga: Penyu Hijau, Spesies Penyu Terbesar di Lautan
Meskipun termasuk ke dalam kategori mamalia, fauna ini menjadi satu dari sejumlah jenis monotremata yang tersisa. Monotremata sendiri merupakan klan mamalia purba yang saat ini masih hidup di Bumi. Kelompok ini hanya beranggotakan lima spesies, yakni tiga spesies ekidna moncong panjang, satu spesies berparuh pendek, dan platypus berparuh bebek.
Seperti mamalia lainnya, mamalia petelur ini memiliki bulu dan menghasilkan susu. Namun, mereka memiliki sifat seperti reptil, yakni bertelur untuk berkembang biak bukan melahirkan seperti hewan menyusui pada umumnya.
Ekidna moncong panjang barat merupakan jenis terbesar dalam kelompok monotremata. Secara morfologi, ekidna paruh panjang betina lebih berat daripada jantan, yakni rata-rata seberat 8,6 kilogram hingga 7 kilogram (Massicot, 2005). Sedangkan ekidna moncong panjang barat memiliki panjang rata-rata antara 0,45 sampai 0,77 meter.
Spesies ini memiliki ciri berambut dan berduri warna cokelat yang menutupi tubuhnya. Namun, duri yang mereka miliki lebih pendek, lemah, dan lebih sedikit bila dibandingkan dengan ekidna bermoncong pendek. Serupa platipus, ekidna jantan memiliki taji di kaki belakangnya, tetapi tidak menghasilkan racun (Cross, 2002).
Baca juga: Bintang Laut Berduri, Sang Predator Terumbu Karang
Hewan ini diketahui mampu hidup hingga 31 tahun. Mereka merupakan pemakan serangg, cacing tanah, semut, dan rayap. Spesies ini juga memiliki cakar yang kuat di kaki depannya yang ideal untuk menggali sarang serangga.
Fauna berparuh panjang ini adalah jenis hewan soliter dan aktif pada malam hari (nokturnal). Seperti landak, mereka mempertahankan diri dengan meringkuk dalam posisi melindungi kepalanya sambil menjulurkan duri ke luar (Massicot, 2005).
Lembaga International Union for Conservation of Nature (IUCN) memasukkan hewan ini ke dalam spesies yang terancam punah. Perburuan oleh masyarakat serta hilangnya habitat hutan alam karena bertani adalah penyebab utama kepunahannya. Di Indonesia sendiri, spesies ini tinggal di Taman Nasional Lorentz Acha Anis Sokoy, di Wamena, Kabupaten Jayawijaya.
Penulis: Ida Ayu Putu Wiena Vedasari