“Edelweiss, Edelweiss.. Every morning you greet me..
Small and white, clean and bright.. You look happy to meet me..”
Familiar dengan lirik lagu diatas? Ya, sepenggal lirik lagu tersebut merupakan lagu sepanjang masa yang berjudul ‘Edelweiss’. Edelweis adalah sejenis bunga endemik zona alpina/montana di berbagai pegunungan tinggi Nusantara. Bunga ini hanya dapat tumbuh dan berkembangbiak di daerah pegunungan, terutama di daerah berbatu dan berkapur pada ketinggian 1.600-3.600 Mdpl yang biasanya merupakan tebing-tebing curam di lereng gunung dengan cahaya matahari penuh.
Konon edelweis diibaratkan simbol keabadian atau bunga abadi. Mengapa demikian? Bunga dari famili Asteraceae ini “abadi” karena adanya hormon yang bisa mencegah kerontokan sehingga flora tersebut tahan lama dan tidak mudah rusak. Julukan ini dikhususkan pada jenis edelweis Leontopodium alpinum Cass, yang berasal dari pegunungan di Eropa.
Penyebarannya terutama di Asia Tengah dan Selatan sebanyak 110 jenis. Di Asia Tenggara termasuk New Guinea, hanya terdapat 6 jenis Anaphalis, yaitu A. javanica, A. longifolia, A. maxima, A. viscida, A. helwigii dan A. arfakensis. Jenis A. javanica dan A. longifolia sangat berkerabat dekat dengan bentuk morfologi yang hampir serupa (dikutip pada portal, generasibiologi.com).
Flora edelweis memiliki daun dan bunga yang ditutupi oleh bulu-bulu berwarna putih (seperti wool). Daunnya berbentuk seperti lidah tombak. Tangkai bunga berukuran sekitar 3-20 cm atau bahkan bisa sampai 40 cm. Terdapat 5-6 kepala bunga yang berwarna kuning. Kepala bunga ini dikelilingi oleh daun-daun bunga yang membentuk bintang. Biasanya flora abadi ini akan berbunga antara bulan April sampai Agustus, dan fase mekar bunga terbaik pada bulan Juli sampai Agustus (dikutip pada laman biodiversitywarriors.org).
Jenis edelweis yang dominan di Indonesia adalah Anaphalis javanica atau disebut edelweis Jawa. Edelweis Jawa memiliki peran sebagai tumbuhan pioner tidak hanya di tanah vulkanik muda tetapi juga di lahan-lahan bekas terbakar di zona ekosistem hutan tropika sub alpin pada elevasi di atas 2000 m dpl.
Di tanah yang miskin hara dan terganggu akibat kebakaran, edelweis Jawa berperan sebagai tanaman penutup yang mampu menahan hempasan air hujan dan laju permukaan, sehingga meminimalkan risiko erosi.
Edelweis Jawa merupakan bunga majemuk dengan jumlah bunga yang banyak dan susunannya rapat. Kehadiran bunganya akan menjadi sumber makanan bagi banyak serangga penghisap nektar. Semakin banyak ketersediaan nektar dan serbuk sari pada bunga, maka kehadiran serangga polinator pun semakin tinggi, sehingga terjalin hubungan saling menguntungkan atau simbiosis mutualisme antara serangga polinator dengan bunga ini.
Bunga edelweis memiliki kandungan berupa senyawa yang menenangkan kulit halus dan melindungi dari tanda-tanda penuaan. Selanjutnya, kandungan tersebut dapat dimanfaatkan sebagai salah satu komponen penyusun dari produk kosmetik seperti produk anti penuaan untuk kulit. Karena tidak memiliki racun, bunga edelweis biasa dimanfaatkan oleh masyarakat lokal yang tinggal di daearah dataran tinggi sebagai bahan pengobatan tradisional, dimana berkhasiat dalam mengobati sakit perut dan gangguan pernafasan.
Berdasarkan IUCN redlist (2008), bunga edelweis termasuk dalam kategori threatened atau berstatus terancam keberadaannya. Kondisi ini terjadi karena adanya gangguan aktivitas manusia yang dengan sengaja memetik bunga tersebut demi kepentingan pribadi.
Perlu diketahui bahwa sebuah semai edelweis memerlukan waktu lebih kurang 13 tahun untuk mencapai tinggi 20 cm. Betapa menyedihkan jika aktivitas dan kebiasaan tangan-tangan jahil manusia tak henti-hentinya mengambil bunga ini. Berapa lama lagi waktu yang dihabiskan untuk melihat bunga ini tumbuh dengan indahnya menghiasi pemandangan alam pegunungan?
“Jangan mengambil apapun kecuali gambar, jangan meninggalkan apapun kecuali jejak, jangan membunuh apapun kecuali waktu.”
Harusnya pesan yang mengandung makna mendalam tersebut, dapat ditanamkan pada pola pikir manusia yang betul-betul mencintai gunung dan peduli akan kelestariannya. Mencintai tidak harus memiliki, hal itu juga berlaku bagi Si Bunga Abadi.
Penulis: Sarah R. Megumi