Mungkin sebagian besar orang akan setuju jika kayu jati adalah salah satu jenis kayu komersil yang tergolong mahal dalam perdagangan Indonesia. Namun jangan salah, nyatanya ada jenis kayu lain yang menyaingi harga kayu jati, bahkan harganya lebih mahal. Ya, kayu tersebut dihasilkan dari tanaman pohon eboni.
Kayu eboni merupakan kayu komersil dari Sulawesi. Jenisnya yang terkenal adalah Diospyros celebica (Bakh.) dan Diospyros rumphii (Bakh.). Jenis kayu ini termasuk kelompok kayu indah dalam perdagangan di Indonesia. Daerah sebaran alami eboni dan wilayah ekspor terbanyak berasal dari Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Gorontalo dan Sulawesi Utara. Meskipun terbilang indah dan memiliki nilai jual tinggi, pohon eboni sudah masuk dalam kategori tanaman langka yang dilindungi oleh pemerintah Indonesia. Pasalnya, tanaman kayu ini mengalami pengurangan di habitat aslinya secara masif. Para pembalak mengincar kayu hitamnya karena memiliki kualitas yang bagus.
Berdasarkan Balai Penelitian Kehutanan Manado (2013), pemanenan yang dilakukan terhadap jenis kayu ini telah berlangsung sejak lama dan tidak dapat diimbangi dengan kemampuan regenerasi alaminya, sehingga dikhawatirkan jenis ini sedang mengalami ancaman kelangkaan bahkan kepunahan. Ancaman ini diperparah dengan terganggunya habitat asli flora ini akibat perambahan hutan, fragmentasi kawasan hutan, penebangan liar dan lain-lain.
Dikutip dari berbagai sumber, pada tahun 1920 ekspor eboni mencapai 2.300 m3 , meningkat menjadi 8.200 m3 pada tahun 1928, dan setelah itu rata-rata 6.000 m3/tahun. Tahun 1973, ekspor kayu eboni mencapai puncaknya yaitu 26.000 m3 dan masih mencapai 23.000 m3 tahun 1978. Setelah itu, tegakan eboni rusak berat sehingga ekspor menurun tajam (Lemmens et al., 1995). Penurunan potensi tersebut mendorong pemerintah mengeluarkan SK Menteri Kehutanan No. 31/KPTS-IV/86 mengenai penertiban kayu eboni (pelarangan penebangan baru) di Sulawesi Tengah (Samedi dan Kurniawati, 2002).
Sejak tahun 1998, IUCN Red List of Threatened Species menggolongkan eboni (Diospyros celebica) dalam kategori vulnerable dan mulai tanggal 12 Juni 2013, jenis ini telah masuk Appendix II CITES yang berarti hanya dapat diperdagangkan berdasarkan kuota. Ditambah lagi, eboni merupakan salah satu spesies prioritas untuk dilestarikan berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan Nomor: P. 57/Menhut-II/2008.
Eboni dapat tumbuh pada berbagai tipe tanah mulai dari tanah berkapur, berpasir sampai tanah liat dan berbatu asal tidak becek, bermacam-macam jenis tanah seperti latosol, calcareous soil dan podsolik (Santoso, 1997; Lemmens et al., 1995) serta tanah podsolik kecoklatan dan inceptisol (Kiding Allo, 2008). Eboni teridentifikasi tumbuh dalam kompleks land system seperti dataran aluvial, jalur meander, lembah aluvial, kipas dan lahar, teras, dataran, perbukitan dan pegunungan (Achmad, 2002).
Pohon eboni atau eben menghasilkan kayu berwarna hitam dengan garis-garis coklat kemerah-merahan. Tinggi pohon dapat mencapai 40m dengan diameter batang mecapai 100 cm dan memiliki banir yang tingginya bisa 4 m. Eboni tumbuh pada berbagai jenis tanah asalkan tidak terlalu asam. Pembibitan dilakukan secara generatif dengan menyemaikan biji/ benih atau panyapihan anakan alam. Musim buah eboni biasanya sekitar bulan September sampai dengan Nopember dengan jumlah bijinya 1.100/kg (Martawijaya et al, 1981).
Musim berbunga eboni terjadi pada bulan Maret-Mei, buahnya masak pada bulan Oktober-Desember. Pemanenan dilakukan dengan cara dipanjat. Pohon eboni rentan diserang jamur Peniulliopsis clavariaeformis. Biji tua eboni berwarna coklat kehitaman berbentuk bulat panjang 2-5 cm tebal 0,501,5 cm. Rata-rata dalam 1 kg terdapat 1.100 biji (Soerianegara, 1976).
Eboni merupakan pohon penghasil kayu indah dan bernilai komersil relatif tinggi (fancy wood). Kayu eboni sangat artistik dengan teras kayunya yang berwarna hitam dengan garis-garis coklat dan coklat kemerahan, mengilap, halus, dan awet. (Soerianegara, 1967). Tergolong ke dalam kayu ekspor, produk ini banyak dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan mebel, perkakas rumah tangga, hiasan dinding, alat musik, kipas, kayu lapis mewah, bahan bangunan atau barang kerajinan lainnya. Di Jepang, kayu eboni menjadi tolok ukur status sosial seseorang (Kuhon dkk., 1987), sehingga ekspor kayu eboni ke negara Jepang tergolong tinggi.
Menurut Balai Penelitian Kehutanan Manado (2014), salah satu langkah yang mendesak untuk dilakukan dalam rangka menyelamatkan tanaman jenis ini adalah dengan melakukan konservasi ex situ yaitu penanaman yang dilakukan diluar habitat aslinya, misalnya di hutan kota, kebun koleksi (arboretum), kebun botani, hutan wisata, hutan lindung, halaman rumah, halaman sekolah maupun halaman perkantoran dan lain-lain.
Penulis: Sarah R. Megumi