The Black-naped Oriole (Oriolus chinensis) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan nama Kepodang adalah salah satu jenis burung pengicau (passeriformes) berukuran sedang (±26 cm) dari genus oriolus yang berasal dari daratan China. Kicauan atau siulan burung ini sangat keras dan nyaring. Siulannya terdengar khas dan menyerupai suara alunan suling bambu yang amat memanjakan telinga terutama bagi komunitas pecinta burung.
Disamping kelebihan pada suaranya, tampilan pada bulu burung kepodang sangatlah menarik dan elok untuk dipandang. Bulu pada tubuhnya berwarna hitam dan kuning dengan strip hitam melewati mata dan tengkuk. Pada sayapnya juga hampir didominasi oleh warna hitam dengan kaki yang berwarna hitam. Bagian bawah tubuhnya berwarna keputih-putihan dengan burik hitam dan iris mata berwarna merah. Bentuk paruhnya meruncing dan sedikit melengkung ke bawah. Ukuran panjang paruh kurang lebih 3 cm.
Burung kepodang umumnya hidup berpasangan dan merawat anak-anak mereka bersama. Burung kepodang betina piawai membangun sarangnya dengan teliti dan rapi. Hal tersebut menjadikan burung ini dijuluki “burung pesolek”.
Berdasarkan informasi yang didapat dari beberapa sumber, bahwa sulit untuk membedakan bentuk fisik antara kepodang jantan dan betina. Meski demikian, perbedaan yang mendasar terdapat pada warna bulu. Pada burung jantan berwarna kuning terang, sedangkan pada burung betina lebih buram dengan punggungnya yang berwarna kuning zaitun (dikutip dari laman biodiversitywarriors.org).
Makanan utama burung kepodang adalah buah-buahan seperti pisang dan pepaya. Mereka juga memakan biji-bijian dan serangga-serangga kecil, seperti ulat maupun kepompong.
Penyebaran burung kepodang hampir di seluruh wilayah Asia Tenggara termasuk Indonesia, dengan wilayah sebaran meliputi Sumatera, Jawa, Bali, Kalimantan, Sulawesi dan Nusa Tenggara. Wajar saja jika Indonesia sebagai tempat tinggal spesies ini masuk ke dalam empat besar negara di dunia yang memiliki kekayaan jenis burung terbanyak. Adapun karena habitat alami burung ini adalah daerah dataran tinggi dan dataran rendah, serta hutan-hutan tropis. Kadang kala mereka juga ditemukan di daerah dekat pantai dan hutan mangrove.
Mitos
Komunitas pecinta burung semakin bertambah beberapa tahun belakangan ini. Burung Kepodang termasuk salah satu burung yang menjadi incaran para pecinta burung dan dipelihara dengan tujuan tertentu, antara lain dipelihara untuk ajang lomba/kontes (umumnya dari kicauannya) atau hanya sekedar hobi untuk kesenangan pribadi. Namun sangat disayangkan jika populasi burung kepodang di habitat aslinya dapat berkurang sewaktu-waktu karena aktivitas perburuan massal.
Selain sebagai fauna yang diperjual-belikan, sebagian orang memanfaatkan daging burung kepodang sebagai salah satu syarat pada tradisi adat Jawa Tengah yaitu “Mitoni tujuh bulan”. Mitos yang berkembang menyebutkan bahwa burung ini dianggap mampu memberikan hal positif bagi para ibu hamil. Pada tradisi mitoni tujuh bulan masa kehamilan, terdapat ritual yang dipercaya apabila seorang calon ibu mengkonsumsi daging burung kepodang yang telah disembelih dan dimasak, maka calon ibu/orang tua tersebut diyakini kelak akan mendapatkan keturunan yang cantik dan tampan.
Adapun kepercayaan lainnya datang dari masyarakat Sunda (Jawa Barat). Burung kepodang dipercaya sebagai burung “Tolak Bala”. Mitos yang berkembang menyebutkan apabila dalam suatu rumah memelihara burung kepodang, konon pemiliknya akan dijauhkan dari segala kesialan atau malapetaka.
Meskipun banyak mitos yang berkembang terhadap burung ini, namun burung kepodang memiliki pemaknaan dan filosofi yang baik khususnya bagi masyarakat Jawa Tengah. Berdasarkan sumber informasi yang didapat, burung kepodang melambangkan kekompakan, keselarasan dan keindahan budi pekerti sekaligus juga melambangkan anak atau generasi muda. Lantaran nilai-nilai filosofi yang selaras dengan budaya Jawa, burung istimewa ini kemudian ditetapkan sebagai fauna identitas provinsi Jawa Tengah.
Penulis: Sarah R. Megumi