Bunga Rafflesia Merah Putih di Belantara Rimbang Baling

Reading time: 4 menit

Copyright (c) WWF Indonesia

Kesulitan Jaga Habitat

Syamsidar mengatakan bahwa pada hari itu tim WWF tidak hanya menemukan Cendawan Muka Rimau. Jauh di ketinggian sekitar 1.000 meter di bukit rimba Rimbang Baling, mereka juga menemukan sawmill (kilang kayu) yang digunakan oleh pembalak liar.

“Selama penulusuran tim di lokasi, sudah ditemukan dua sawmill namun informasinya ada enam lokasi sawmill disana,” katanya.

Ia berharap penemuan bunga langka itu bisa lebih menguatkan pemerintah untuk menjaga habitat Raflesia di Rimbang Baling. Penemuan itu menunjukan kondisi keanekaragaman hayati di suaka margasatwa itu masih terjaga dengan baik, namun ancaman perusakan sudah ada di depan mata.

“Lokasi Rimbang Baling yang berada di perbatasan Riau dan Sumatera Barat menjadi sangat rawan karena diduga banyak akses masuk untuk pembalakan liar,” katanya.

Bukit Rimbang Baling ditetapkan sebagai kawasan suaka margasatwa (SM) melalui Surat Keputusan (SK) Gubernur Riau Nomor 149/V/1982. Kawasan itu memiliki luas 136.000 hektar, dengan tingkat keanekaragaman ekosistem yang sangat tinggi.

Berbagai macam vegetasi ditemukan mengisi bentang dan kontur alam yang variatif, dan tepat berada di antara jajaran Bukit Barisan sekaligus ekosistem gambut Cagar Biosfer Giam Siak Kecil. Berbagai macam mamalia mendiami kawasan hutan yang memiliki lansekap mulai dari dataran tinggi hingga rendah ini.

Berdasarkan catatan WWF, sedikitnya 170 jenis burung dan 50 jenis mamalia berbagai ukuran. Selain itu juga ada tapir, rusa, kukang, siamang, beruang madu sampai Harimau Sumatera mendiami daerah itu.

Selain potensi ekologis, Rimbang Baling juga memiliki peran penting dan berdampak langsung pada masyarakat, karena kawasan itu merupakan penopang air Sungai Kampar.

Kepala Bidang Teknis Konservasi pada BBKSDA Riau, Syahimin, mengatakan penemuan bunga langka itu perlu ditindaklanjuti dengan melakukan riset lanjutan untuk mendalami kemungkinan masih banyak Cendawan Muka Rimau di Rimbang Baling. Namun, ia mengakui yang lebih krusial adalah perlu adanya memperkuat dalam upaya melestarikan habitatnya dari kerusakan.

“Kalau terus terjadi kerusakan di Rimbang Baling, akan menjadi kerugian bagi kita semua,” katanya.

Ia mengatakan sesuai aturan dalam Undang-Undang (UU) No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya, sebuah suaka margasatwa seharusnya harus steril dari kegiatan manusia kecuali untuk kepentingan riset dan pengawasan. Namun, pada kenyataannya di dalam Rimbang Baling sudah banyak ditemukan banyak permukiman penduduk terutama disepanjang sungai.

Pembukaan tutupan hutan untuk pembuatan perkebunan karet jadi tak bisa dihindari. Di lain sisi, upaya penegakan hukum mendapatkan perlawanan keras dari masyarakat seperti yang terjadi pada akhir Desember 2012. Kala itu warga terlibat bentrok dengan personel BBKSDA Riau yang melakukan operasi penertiban, dan mengakibatkan penyanderaan selama beberapa hari.

“Suaka margasatwa seharusnya memang steril dari aktivitas manusia, tapi mau bagaimana lagi karena kita coba penegakan hukum ternyata malah bentrok,” ujarnya.

Menurut dia, upaya mencari titik temu untuk merelokasi warga dari dalam Rimbang Baling sampai kini belum tercapai.

“Tidak mudah mencari lahan untuk merelokasi warga dari dalam sana, perlu ada keterlibatan penuh dari pemerintah daerah,” ujarnya.

Selain itu, ia mengakui pemerintah sangat kekurangan sumber daya manusia untuk menjaga kawasan itu. Hanya ada dua petugas patroli yang bertugas mengawasi Suaka Margasatwa Rimbang Baling.

“Dengan luas 136 ribu hektar, sangat tidak sebanding petugas yang ada sekarang untuk mengawasinya,” kata Syahimin.

Menurut dia, akan lain ceritanya jika pemerintah bisa merangkul warga setempat untuk ikut menjaga Rimbang Baling dengan membentuk petugas keamanan swakarsa. Tapi lagi-lagi hal itu terkendala dana.

“Program penjaga swakarsa pernah ada tapi sudah berhenti terakhir tahun 2011. Habis mau bagaimana lagi kalau anggarannya tidak ada lagi dari kementerian,” kata Syahimin. (end)

Top