Horseshoe crab, kepiting tapal kuda, belangkas, atau dalam bahasa Jawa dikenal dengan nama “Mimi Mintuno” mempunyai filosofi unik tersendiri. Filosofi Jawa mengibaratkan Mimi dan Mintuno merupakan sepasang hewan sejoli yang terkenal setia sehidup-semati. Dalam budaya Jawa, sering terucap doa untuk pasangan yang menikah berbunyi “Dadio pasangan koyo mimi lan mintuno” artinya jadilah pasangan suami istri yang awet/setia seperti mimi dan mintuno.
Sesungguhnya hewan ini bukan merupakan mahluk yang asing bagi penduduk pantai, terutama masyarakat sekitar Laut Jawa, khususnya di Jawa Tengah. Mereka mengenalnya dengan sebutan “Mimi” (bila ditemukan sendiri) dan “Mimi Mintuno” (bila ditemukan sepasang).
Meskipun memiliki tekstur dan bentuk yang keras seperti kepiting (crab), namun belangkas bukan dari keluarga kepiting. Belangkas merupakan hewan dari famili Limulidae yang dikenal sebagai living fossils (fosil hidup).
Mimi adalah nama belangkas berkelamin jantan, sedangkan Mintuno adalah belangkas berkelamin betina. Kedua spesies ini mempunyai bentuk fisik yang hampir sama, hanya pada hewan betina bagian depan tubuhnya (anterior prosoma) agak lebar dan dipenuhi ribuan telur, sedangkan yang jantan bagian depan lebih kecil. Memiliki tubuh yang beruas-ruas, maka mimi mintuno dimasukkan ke golongan Arthropoda.
Berdasarkan sumber sumber oseanografi.lipi.go.id, bentuk tubuh belangkas terbagi dalam tiga bagian yaitu pertama, bagian depan (anterior pro-soma) yang menyerupai “Tapal Kuda”. Bagian ini mempunyai tepi yang licin, menutupi ruas-ruas kepala dan ruas-ruas dada (Cephalothorax). Kedua, bagian tengah (opisthosoma). Bagian ini menutupi 7 ruas perut (abdomen), dimana tepinya terdapat duri-duri yang panjangnya bervariasi tergan-tung dari jenis kelamin hewan tersebut. Ketiga, bagian yang paling belakang dengan bentuk menyerupai daun yang panjang dan runcing, disebut sebagai duri ekor.
Belangkas merupakan salah satu sumberdaya genetik yang dilindungi (SK Menteri Kehutanan No.12/Kpts-II/1987 dan Peraturan Pemerintah RI No.7/1999). Satwa ini mempunyai risiko kepunahan yang tinggi akibat adanya degradasi habitat, reklamasi, pencemaran, dan perburuan komersial, hilangnya habitat dan sumber makanan, perubahan kondisi air, serta peningkatan predasi.
Hingga saat ini, terdapat empat spesies belangkas yang masih ada di dunia, yaitu Limulus polyphemus (khusus terdapat di pantai Atlantik Amerika Utara) dan tiga lainnya merupakan spesies Asia yaitu Tachypleus gigas, Tachypleus tridentatus dan Carcinoscorpius rotundicauda. Keberadaan ketiga spesies Asia tersebut dinyatakan near threatened oleh IUCN (2010), threatened (2014) dan data deficient (2015). Sedangkan untuk Limulus polyphemus adalah lower risk/near threatened berdasarkan IUCN (2015) (dikutip dalam penelitian Meilana (2015), IPB).
Belangkas merupakan hewan yang memiliki peranan penting, baik secara ekonomi maupun ekologi. Secara ekonomi, satwa ini dimanfaatkan sebagai hewan umpan untuk menangkap ikan sembilang, sidat, dan siput besar. Di Hong Kong, jenis Tachypleus tridentatus menjadi makanan yang dijual di restoran, sedangkan di Thailand dan Malaysia, ketiga spesies belangkas Asia ini dikonsumsi sebagai makanan eksklusif.
Keunikan dari fauna tempurung keras ini adalah mereka mempunyai darah berwarna biru. Darah satwa ini sering di ambil untuk keperluan di bidang medis. Darah belangkas dapat berfungsi untul mensterilkan produk medis dan farmasi karena dalam darahnya mengandung Limulus Amebocyte Lysate (LAL) yang dapat mendeteksi endotoksin pada darah manusia dan menguji obat bahwa bebas dari bakteri patogen sebelum dikonsumsi oleh manusia.
Secara ekologi, belangkas memiliki peranan dalam penyeimbang rantai makanan dan sebagai sumber protein bagi setidaknya 20 spesies burung pantai yang bermigrasi. Mimi juga berperan sebagai bioturbator dan mengendalikan hewan bentik invertebrata. Selain itu, mimi juga dikonsumsi oleh monyet mangrove (Macaca fascicularis).
Menurut informasi yang didapat mimi dan mintuno adalah sepasang hewan yang tidak dapat dipisahkan, apabila mereka terpisah maka kedua hewan ini akan mati. Menariknya konon, apabila mimi dan mintuno tidak dimasak bersamaan maka ia akan mengeluarkan racun, tetapi lain cerita jika dimasak secara bersamaan maka hewan ini dapat dikonsumsi normal.
Oleh karena itu, ingin melihat kisah sepasang sejoli mimi dan mintuno hidup bebas di perairan maka sudah sepatutnya kita menjaga kelestariannya dengan cara membantu merealisasikan peraturan pemerintah yaitu tidak mengeksploitasi secara berlebihan hewan yang berstatus dilindungi ini.
Penulis: Sarah R. Megumi