Di Indonesia, tepatnya di Sulawesi dan pulau-pulau sekitarnya seperti pulau Togian, Sula, Buru, Malenge, dan Maluku, memiliki fauna endemik yang keberadaannya mulai langka. Fauna tersebut adalah babirusa. Penamaan ini karena mereka mempunyai ciri khas pada bentuk tubuhnya yang menyerupai babi namun mempunyai taring panjang pada moncongnya. Ditambah lagi, babirusa memiliki sistem pencernaan dengan ruang perut ganda yang kompleks menyerupai rusa atau ruminansia lain.
Babirusa termasuk binatang penyendiri namun sering terlihat dalam kelompok-kelompok kecil dengan satu babirusa jantan yang paling kuat sebagai pemimpinnya. Perilaku sosial satwa ini yakni berkelompok hingga 13 ekor, umumnya betina dengan anaknya. Umunya pejantan dewasa akan menyendiri. Usia harapan hidup babirusa mencapai 24 tahun dengan jumlah anakan yang lahir hanya 2 anakan dengan masa mengandung sekitar 161 hari. Jarangnya frekuensi kelahiran membuat fatwa endemik ini semakin langka.
Secara morfologi babirusa mempunyai panjang tubuh 85-105 cm. Tingginya sekitar 65-80 cm dengan berat tubuh sekitar 90-100 kg. Ia mempunyai ekor yang panjangnya sekitar 20-35 cm. Satwa ini memiliki kulit yang kasar berwarna keabu-abuan dan hampir tak berbulu. Pada taringnya, satwa ini memiliki taring atas yang tumbuh menembus moncongnya dan melengkung ke belakang ke arah mata. Taring ini berguna untuk melindungi matanya dari duri rotan.
Berbeda dengan babi hutan (Sus scrofa), babirusa merupakan fauna jenis omnivora. Mereka mencari makan tidak menyuruk tanah layaknya babi hutan, melainkan mereka memakan buah seperti mangga, jamur, biji-bijan, dedaunan dan membelah kayu-kayu mati untuk mencari larva lebah.
Berdasarkan Jurnal Ilmiah Kedokteran Hewan, Fakultas Kedokteran Hewan Unair (2011), selain kerusakan habitat dan perburuan liar yang masih terus berlangsung, penurunan populasi salah satunya disebabkan oleh penyakit cacing (helmintiasis). Babirusa sangat berpotensi terkena helmintiasis dikarenakan sifat dan perilakunya yang mempunyai kebiasaan berkubang, memakan buah dan hijauan yang jatuh atau berada di tanah. Satwa ini juga seringkali membongkar batang kayu pepohonan yang lapuk untuk memperoleh larva. Tanah juga berperan sebagai transmitter/perantara helmintiasis.
Saat ini populasi satwa ini semakin menurun. Keadaan ini dibuktikan dengan semakin sulitnya menemukan babirusa yang hidup bebas di hutan pulau Sulawesi dan Halmahera. Dilansir pada laman asianwildcattle.org, semua jenis babirusa terancam oleh berkurangnya habitat dan perburuan.
Babirusa Sulawesi (Babyrousa celebensis) dan Babirusa Buru (Babyrousa babyrussa) dikategorikan sebagai satwa “Rentan” punah. Sementara itu Babirusa Togian (Babyrousa togeanensis) dikategorikan “Terancam Punah” oleh IUCN yang berarti satwa ini beresiko sangat tinggi untuk punah di alam. Perburuan liar merupakan ancaman yang paling tinggi terhadap populasi satwa ini, pemburu mengincar daging dan gadingnya. Ditambah lagi hilangnya habitat akibat alih fungsi lahan, penebangan dan penambangan liar dan deforestasi hutan.
Penulis: Sarah R. Megumi