Amanita phalloides atau Death Cap (Payung Maut) adalah salah satu fungi Basidiomycota yang terkenal sangat beracun. Ia menyebar secara luas di kawasan Eropa, serta menjadi dalang dari sebagian besar kasus keracunan jamur yang ada di dunia.
Jamur payung maut berasal dari genus Amanita. Genus ini berisikan sedikitnya 600 spesies fungi mulai dari yang beracun, hingga beberapa spesies jamur edible yang dapat manusia konsumsi.
Menurut penelitian, kelompok jamur Amanita setidaknya bertanggung jawab atas terjadinya 95% kasus keracunan jamur. Ironisnya, 50% dari kasus tersebut pakar ketahui ulah jamur death cap.
Rupa Amanita phalloides memang unik, tudungnya kehijauan dengan tangkai berwarna putih. Sebab mirip dengan jamur konsumsi, banyak masyarakat yang berpikir jika fungi tersebut tidak berbahaya.
Morfologi dan Ciri-Ciri Amanita Phalloides
Secara morfologi, penampilan death cap memang sangat mirip dengan Jamur Kancing (Agaricus bisporus). Keduanya sama-sama memiliki tudung berbentuk payung dengan batang berwarna putih.
Meski begitu, corak tudung Champignon (nama lain jamur kancing) cenderung putih bersih atau berwarna krem. Ia aman untuk manusia konsumsi, bahkan sangat berguna bagi dunia kesehatan.
Berbicara soal struktur tubuh, Amanita Phalloides biasanya pakar identifikasi menjadi beberapa bagian yakni pileus, lamella atau gills, stipe, serta cincin atau annulus. Berikut penjelasannya.
- Pileus (tudung); adalah bagian yang ditopang oleh stipe. Bagian satu ini dapat kita tandai dari bentuknya yang mirip seperti payung, serta mengandung bilah-bilah pada bagian bawahnya
- Lamella atau Gills; merupakan bagian bawah tudung yang berbentuk helaian berbilah-bilah
- Stipe (tangkai tuduh buah); adalah massa miselium yang tumbuh tegak dan sangat kompak
- Cincin atau annulus; terletak di tangkai tudung. Seperti namanya, bagian ini tampak melingkar serta berbentuk seperti cincin.
Dalam proses pertumbuhannya, tudung death cap dapat berubah warna dari hijau menjadi merah, cokelat muda, cokelat tua, sampai kuning. Ia memiliki pola bintik-bintik dengan corak keputihan.
Baca juga: Jamur Shitake, Fungi Pohon Shii yang Berguna sebagai Obat
Karakteristik Spesies Amanita Phalloides
Perlu Anda ketahui, Amanita phalloides ilmuwan golongkan sebagai organisme heterotrof. Mereka tidak melakukan proses fotosintesis, sebab tidak memiliki pigmen hijau daun atau klorofil.
Untuk memenuhi kebutuhan nutrisinya, payung maut biasanya hidup sebagai saprofit atau parasit. Mereka ahli cirikan menjadi tumbuhan talus dengan struktur tubuh uniseluler atau berfilamen.
Fungi ini umumnya bersifat amotil dengan pengaliran sitoplasma melalui miselium. Dinding selnya mengandung kitin dan selulosa, serta mempunyai inti sel yang pakar sebut sebagai eukariot.
Pola pembiakkan death cap terjadi melalui dua cara; seksual atau aseksual. Jika secara aseksual, jamur tersebut mampu menghasilkan spora dengan sporokarpa makroskopik atau mikroskopik.
Habitat Amanita phalloides pun sejatinya tidak terlalu spesifik. Ia dapat kita temukan di sekitar kawasan hutan, tegalan, pekarangan rumah, serta di antara guguran daun atau tanah berhumus.
Senyewa Racun Jamur Amanita Phalloides
Penelitian senyawa toksik atau racun pada jamur payung maut sebenarnya sudah berlangsung sejak abad ke-19. Pada tahun 1891, R. Kobert menemukan senyawa kimia yang beliau namakan phallin.
Walaupun bersifat haemolitik, tetapi senyawa kimia tersebut ia ketahui tidak memiliki efek toksik. Selanjutnya Lynen, F. dan U. Wieland (1938) menemukan phalloidin sebagai racun utama death cap.
Namun pada tahun 1941, Wieland, H dan R. Hallermayer akhirnya menemukan senyawa amanitin. Sejak saat itu, racun ini ahli tetapkan sebagai faktor utama penyebab kematian pada manusia.
Amanitin atau Amatoxin adalah racun yang dapat mengganggu transkripsi DNA serta memicu nekrosis hati. Ia memiliki periode laten yang cukup panjang, yakni antara 6 – 24 jam.
Selama masa tersebut, orang yang mengonsumsi Amanita phalloides tidak akan merasakan gejala apapun. Setelah periode laten selesai, barulah sejumlah gejala keracunan muncul seperti:
- Fase gastrointestinal (6 – 24 jam setelah konsumsi): rasa nyeri perut, muntah, diare berair, hypovolemia, gangguan elektrolit, gangguan asam basa, hingga penurunan masa prothrombin
- Periode well-being (24 – 48 jam setelah konsumsi): penurunan fungsi hati dan ginjal
- Fase hepatik (3 – 5 hari setelah konsumsi): peningkatan LFT atau Liver Function Test (gangguan fungsi hati), serta gagal hati dan ginjal akut.
Sebagai catatan, efek toksin jamur Amanita phalloides tidak akan berkurang dengan cara dimasak. Amanitin sendiri bersifat termostabil, sehingga senyawanya tidak akan berubah jika terkena panas.
Baca juga: Jamur Lingzhi, Ganoderma yang Berguna bagi Dunia Medis
Taksonomi Spesies Jamur Death Cap
Penulis: Yuhan Al Khairi