Jakarta (Greeners) – Pemerintah mengeluarkan Surat Keputusan Bersama tentang Pelaksanaan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri. SKB tersebut merupakan ketetapan antara Menteri Perdagangan, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Menteri Perindustrian, dan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang diteken pada 27 Mei 2020. Di dalamnya menetapkan toleransi kandungan material ikutan pada impor limbah non B3 untuk kelompok kertas dan plastik sebesar dua persen. Sedangkan untuk kelompok logam berupa skrap besi atau baja ditetapkan secara kasat mata dalam jumlah sedikit dan tidak menetes.
Kandungan material ikutan ini ditetapkan karena pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non Bahan Berbahaya dan Beracun tidak mencakup aturan angka kontaminan. Kebijakan tersebut kemudian menimbulkan masalah impor sampah kertas scrap karena disusupi sampah plastik dari negara maju.
Baca juga: Sarana Pengelolaan Sampah untuk DAS Citarum
Pada 2018, Lembaga Kajian Ekologi dan Konservasi Lahan Basah (Ecoton) menemukan kontaminan sampah plastik pada impor kertas scrap mencapai angka 20 persen. Para aktivis kemudian mendesak pemerintah untuk membatasi kontaminan menjadi 0,5 persen.
Direktur Eksekutif Ecoton, Prigi Arisandi mengatakan, rekomendasi angka ideal toleransi kandungan material ikutan tersebut juga sudah ditetapkan oleh China yang menghentikan impor sampah plastik. Menurutnya, angka dua persen yang ditetapkan pemerintah merupakan keputusan aman bagi tiap kementerian untuk menangani impor plastik dan kertas scrap.
“Menurut kami dua persen ini harus terus diturunkan. Karena dari dua juta ton sampah kertas yang kita impor tiap tahun, masih akan ada 40.000 ton sampah plastik atau kontaminan yang akan membanjiri sungai dan mencemari udara. Kontaminan ini umumnya low grade plastik yang biasanya hanya dibakar,” ujar Prigi saat dihubungi Greeners, Rabu, (17/06/2020).
Prigi mengingatkan pemerintah untuk melibatkan masyarakat dalam pengawasan pelaksanaan impor limbah non B3 ini.“Harus ada akses publik untuk pengawasan. Minimal mekanisme pengaduan yang jelas dari masyarakat untuk pemerintah. Jadi, pengawasan jangan hanya berhenti di beacukai dan surveyor,” ujar Prigi.
Selain penetapan toleransi kandungan material impor non-B3, pemerintah juga membuat peta jalan pengelolaan limbah non B3 sebagai bahan baku industri. Tujuannya untuk mempercepat ketersediaan bahan baku industri dalam negeri dan menurunkan kuota impor secara bertahap. Peta jalan tersebut akan disusun paling lama enam bulan sejak Surat Keputusan Bersama ditetapkan.
Baca juga: Proyek Food Estate Dinilai Tak Berdasar pada Krisis Pangan
Fajri Fadillah Kepala Divisi Pengendalian Pencemaran Lingkungan, Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) berharap peta jalan di dalam SKB dapat menjadi alur yang jelas untuk memperketat batas minimal kandungan material menjadi 0,5 persen sampai 2021.
Menurutnya acuan tersebut dapat diimplementasikan ketika ketentuan Konvensi Basel mulai berlaku bagi negara peserta konvensi termasuk Indonesia. Aparat penegak hukum, jata dia, juga perlu menjalankan tata kelola secara transparan dalam mengawasi impor limbah non-B3. “Jadi masyarakat bisa tahu ketaatan pelaku usaha dalam aturan batas kandungan material ini,” ujarnya.
Penulis: Dewi Purningsih