Yogyakarta Hadapi Tingkat Kerentanan Pangan yang Serius

Reading time: 2 menit
Ilustrasi kerentanan pangan. Foto: Freepik
Ilustrasi kerentanan pangan. Foto: Freepik

Jakarta (Greeners) – Data dari Badan Ketahanan Pangan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menunjukkan bahwa beberapa kabupaten di Yogyakarta, terutama Gunungkidul dan Kulon Progo, memiliki tingkat kerentanan pangan yang cukup tinggi. Kedua daerah ini sering menghadapi tantangan ketahanan pangan akibat kekeringan berkepanjangan dan keterbatasan sumber daya air.

Pada tahun 2023, luas panen tanaman pangan di Yogyakarta menurun sebesar 5,23 ribu hektare. Penurunan lahan itu berdampak pada penurunan produktivitas tanaman pangan sebesar 4,91 persen dibandingkan tahun 2022.

Penurunan lahan juga memengaruhi penyediaan pangan dalam berbagai aspek. Ini mencakup ekologi (kesuburan lahan), ekonomi (produksi), sosial-budaya (kultur pertanian), dan politik (krisis multidimensional).

Kepala Divisi Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Yogyakarta, Elki Setiyo, menyatakan bahwa situasi ini adalah contoh nyata dari dampak perubahan iklim yang semakin terasa. Hari Pangan Sedunia setiap 16 Oktober menjadi pengingat akan dampak serius dari krisis iklim terhadap ketahanan pangan.

BACA JUGA: Masyarakat Perlu Manfaatkan Pangan Lokal, Jangan Hanya Andalkan Beras

Misalnya, di Gunungkidul, tingkat kerawanan pangan masih tinggi. Dengan hampir 30 persen wilayahnya tergolong rawan pangan. Sementara itu, Kulon Progo, yang terkenal karena produksi pertanian lahan kering, sering mengalami kesulitan dalam menjaga kestabilan hasil panen akibat perubahan iklim yang drastis.

Meskipun pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan ketahanan pangan di DIY, masalah ketergantungan pada pasokan pangan dari luar daerah masih tetap ada. Hal ini menjadikan Yogyakarta rentan fluktuasi harga pangan. Sekitar 60% kebutuhan beras DIY masih dipenuhi dari luar daerah. Ini menjadikan Yogyakarta sangat rentan terhadap fluktuasi harga pangan di tingkat nasional.

“Hal ini juga diperparah oleh fakta bahwa lahan pertanian di Yogyakarta terus menyusut setiap tahunnya. Itu akibat konversi lahan menjadi area perumahan dan komersial,” ujar Elki lewat keterangan tertulisnya, Selasa (15/10).

Selain itu, produksi pertanian di Yogyakarta, terutama untuk tanaman pangan pokok seperti padi, jagung, dan sayuran, menurun akibat perubahan pola hujan dan meningkatnya bencana alam seperti banjir dan longsor.

Fokus pada Solusi Berkelanjutan di Yogyakarta

Sementara itu, aktivitas manusia seperti deforestasi dan pertambangan memperparah kerusakan ekosistem yang meningkatkan kerentanan sistem. Saat ini, perlu solusi yang berkelanjutan. Namun, banyak pihak mengalihfungsikan lahan produktif untuk kepentingan industri ekstraktif dan properti.

Bagi Elki, momen Hari Pangan Sedunia adalah waktu untuk mencari solusi yang adil dan berkelanjutan bersama-sama. Menurutnya, pemerintah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan harus bekerja sama untuk memperkuat ketahanan pangan lokal.

Semua pihak juga harus memperjuangkan kebijakan yang berpihak pada petani kecil dan nelayan, serta mendesak langkah-langkah konkret dalam mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim.

“Kita membutuhkan transformasi sistem pangan yang lebih berkelanjutan, adil, dan berdaulat. Hanya dengan demikian, kita bisa memastikan bahwa setiap orang di Yogyakarta dan Indonesia dapat menikmati hak atas pangan yang sehat, cukup, dan berkelanjutan,” tambah Elki.

 

Penulis: Dini Jembar Wardani

Editor: Indiana Malia

Top