Jakarta (Greeners) – Air merupakan kebutuhan primer manusia yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari. Masifnya produksi Air Minum Dalam Kemasan (AMDK) yang beredar di pasaran dinilai berpotensi menambah beban pencemaran ke lingkungan. Air kemasan dalam bentuk galon sekali pakai yang diproduksi sebuah perusahaan air mineral juga disebut bertentangan dengan kebijakan pemerintah mengenai pelarangan penggunaan kemasan plastik sekali pakai.
Penolakan keras terhadap penggunaan AMDK berwadah galon sekali pakai datang dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI). Pengurus Harian YLKI Tulus Abadi menyampaikan, hal tersebut jelas bertentangan dengan pengendalian plastik sekali pakai pada produk makanan dan minuman yang dicanangkan pemerintah. Menurutnya para produsen belum melakukan kewajiban untuk menarik kembali kemasan produknya yang berukuran 300 ml, 600 ml, sampai 1,5 liter. Padahal kewajiban tersebut telah tertuang dalam kebijakan Extended Producer Responsibility (EPR).
“Kami menolak keras dan seharusnya pemerintah dan lembaga terkait melarang penggunaan wadah makanan minuman yang sekali pakai karena pertimbangan lingkungan,” ujar Tulus kepada Greeners melalui sambungan telepon, pada Kamis, (17/09/2020).
Baca juga: Klaim Hutan Adat Terkendala Regulasi
Novrizal Tahar, Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menilai produksi AMDK dalam galon sekali pakai telah memenuhi Standar Nasional Indonesia dan aspek keamanan dari Kementerian Perindustrian maupun Badan Pengawas Obat dan Makanan.
Namun, dari sisi pengelolaan kemasan yang berpotensi menjadi sampah, menurutnya produsen perlu mengacu pada Peraturan Menteri LHK Nomor P.75 Tahun 2019 Tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah Oleh Produsen. Setiap produsen termasuk industri AMDK bertanggung jawab untuk mengurangi sampah kemasan dalam kurun waktu sepuluh tahun sebesar 30 persen.
“Di dalam Permen 75/2019 juga ada konteks hierarki pengurangan sampah, yakni pengurangan, guna ulang, dan daur ulang. Jadi, memang paling tinggi reduce (mengurangi). Semaksimal mungkin industri AMDK harus melakukan upaya-upaya pembatasan kemasan sekali pakai,” ujarnya.
Ia menuturkan saat ini industri AMDK yang menggunakan galon guna ulang sebesar 69 persen, sementara botol sekali pakai 31 persen. Novrizal juga mengapresiasi industri yang sudah mengedukasi publik atau konsumennya dengan mendorong penggunaan galon guna ulang sehingga telah membentuk pola pikir di masyarakat bahwa galon digunakan berulang.
“Ketika ada galon sekali pakai yang saat ini sedang menjadi perhatian, kami pemerintah mendorong semaksimal mungkin dan meminta produsen untuk lebih meningkatkan penggunaan guna ulang sehingga mengurangi sampah yang dihasilkan. Karena kalau sudah masuk ke TPA dan lingkungan akan menjadi persoalan sampah baru,” ujarnya.
Baca juga: Dana Global Climate Fund Diharapkan Bisa Perkuat Hak Masyarakat Adat
Ia mengatakan hingga saat ini lembaganya masih memonitor dan menunggu kabar dari pemerintah daerah mengenai masalah lingkungan yang timbul dari pemakaian galon sekali pakai. “Jika teman-teman di daerah menemukan galon sekali pakai ini menjadi masalah baru, kita akan menindak hal itu tentunya,” kata dia.
Untuk menindaklanjuti perkembangan dari EPR atau Peraturan Menteri Nomor 75/2019, kata Novrizal, saat ini semua produsen sedang membuat baseline dan perencanaannya.“Di akhir tahun, kami berharap produsen bisa menyampaikan proses perencanaan mereka sehingga tahun depan produsen bisa menjalankan pilot plan–nya dan di 2022 sudah full implementasi,” ujar Novrizal.
Konsumen Bisa Memilih Produk yang Baik
Sementara Pengurus Harian YLKI, Sularsi mengatakan, pelaku usaha memiliki tanggung jawab sosial terhadap produk-produk yang diproduksinya. Apalagi jika memakai kemasan plastik sekali pakai, mereka wajib untuk menarik kembali kemasan bekas produknya.
Ia mengatakan bahwa dulu masyarakat minum menggunakan gelas. Namun, setelah adanya air minum dalam kemasan, masyarakat beralih ke hal yang lebih praktis hingga menjadi kebutuhan baru. “Mengubah perilaku masyarakat ini merupakan keberhasilan pelaku usaha. Tapi di sisi lain, produsen tidak memikirkan bagaimana tanggung jawab moral dan sosial yang membuat kemasan produk mereka menjadi sampah dan mencemari lingkungan,” ujar Sularsi.
Oleh karenanya, YLKI juga mengajak konsumen untuk melihat suatu produk tidak saja menguntungkan secara pribadi saja. Namun, bisa dilihat dari produk itu melanggar aturan atau tidak. Sularsi mengatakan, ada lima pilar gerakan konsumen. Pertama, mempedulikan masyarakat dan dirinya terhadap nilai uang, barang, maupun nilai pada manusianya. Kedua, melindungi alam dan lingkungan. “Artinya jika mengonsumsi produk juga melihat ke dampak lingkungannya akan seperti apa,” kata dia.
Ketiga, konsumen perlu mengetahui dan memperjuangkan keberadaan hak yang berlaku secara universal, seperti hak asasi manusia, kebutuhan dasar dan pokok. “Maksudnya perusahan yang memproduksi suatu produk tidak melanggar hak-hak buruhnya,” ucapnya.
Baca juga: Proyek Tambang Pasir Laut Diduga Melibatkan Orang Terdekat Gubernur
Keempat, memperjuangkan keadilan atas sistem politik dan ekonomi yang memarginalkan konsumen lemah dan miskin. Artinya memperjuangkan keadilan agar tidak membatasi kebutuhan dasar mereka. Kelima, menggalang kekuatan dengan menggerakan energi masyarakat melalui beragam kegiatan dengan membangun solidaritas.
“Konsumen bisa memilih produk mana yang memang baik atau tidak, karena konsumen juga memiliki tanggung jawab atas produk yang dimiliki dan digunakan,” ujar Sularsi.
Penulis: Dewi Purningsih