Jakarta (Greeners) – Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mempertanyakan bahan dan keamanan obat yang dikonsumsi oleh masyarakat maupun pasien Covid-19. Beragam obat dan jamu tersebut diklaim telah ditemukan oleh instansi pemerintah maupun lembaga akademik. Hingga saat ini belum ada obat atau vaksin utama yang dapat menyembuhkan virus corona.
Ketua Pengurus Harian YLKI, Tulus Abadi menyangsikan berbagai jenis obat tanaman herbal yang diklaim efektif untuk mengendalikan wabah. Salah satunya lima regimen obat yang ditemukan oleh Universitas Airlangga bersama Badan Intelijen Negara dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana.
Menurut Tulus, dengan banyaknya klaim obat Covid-19 di tengah pandemi, pemerintah seharusnya tetap memperhatikan keamanan dan keselamatan masyarakat. Ia mengatakan, pemerintah hendaknya memberitahu informasi penggunaan obat atau jamu untuk Covid-19.
Baca juga: Deforestasi Terus Bergerak ke Wilayah Timur Indonesia
Ia juga meminta Badan Pengawas Obat dan Makanan yang merupakan lembaga resmi negara untuk memastikan terjaminnya sebuah produk obat dan jamu yang beredar di masyarakat. Misalnya dengan memastikan izin produksi maupun izin edar suatu obat yang diyakini dapat menyembuhkan pasien Covid-19.
“Jangan sampai penemuan obat untuk Covid-19 ini membuat kita terjebak seperti mengatasi masalah dengan masalah. Kita harus menemukan jalan keluar yang win-win solution dan tidak melupakan perlindungan kepada masyarakat yang merupakan hal utama,” ujar Tulus pada webinar “Polemik Beragamnya Klaim Temuan Obat dan Jamu Herbal Penangkal Covid-19”, Minggu, (28/06/2020).
Salah satu obat yang diklaim dapat menyembuhkan penyakit korona adalah dexamethasone. Obat tersebut digunakan untuk mengatasi reaksi alergi, peradangan, serta penyakit autoimun. Berikutnya, hydroxychloroquine atau obat untuk menangani dan mencegah penyakit malaria juga digunakan sebagai penangkal penyakit yang menyerang autoimun atau sistem kekebalan tubuh.
Di Indonesia, BPOM telah memberikan izin edar obat tersebut dengan kriteria tertentu. Direktur Registrasi Obat BPOM Rizka Andalucia mengatakan obat keras itu hanya dapat dibeli dengan resep dan digunakan sesuai petunjuk dokter.
Menurut Rizka, izin penggunaan hydroxycloroquine diperbolehkan dalam kondisi darurat atau dikenal dengan Emergency Use Authorization. Selain itu, klorokuin dan dexamethasone merupakan obat yang sudah lama diberikan izin edarnya untuk indikasi non-covid. Ketiganya, kata dia, termasuk ke dalam kategori obat keras.
“Kami mengimbau masyarakat untuk tidak menggunakan hydroxycloroquine, cloroquine, maupun dexamethasone secara bebas. Harus dengan resep dokter dan di bawah pengawasan dokter,” ucapnya.
Untuk syarat dan kondisi penggunaan dalam kondisi darurat, Rizka menjelaskan bahwa obat tersebut harus diuji secara klinis dan dipantau keamanannya. Obat tersebut juga hanya dapat digunakan selama masa pandemi. “Terakhir, dilakukan peninjauan ulang setiap kali terdapat data terbaru terkait efektivitas atau khasiat dan keamanan dari hasil penelitian,” kata dia.
Baca juga: Gaya Hidup Sadar Lingkungan Meningkat
Lebih lanjut Rizka mengatakan, penelitian terkait obat ini akan dilakukan oleh perhimpunan profesi. Ketika hasil penelitian sudah muncul dan terbukti menunjukkan ketidakbermanfaatan emergency use authorization, pemakaian hydroxycloroquine akan dihentikan.
BPOM mendukung dilakukan protokol uji klinik terhadap penelitian yang dilakukan Universitas Airlangga agar dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. “Sehingga obat-obat yang diklaim dapat menyembuhkan Covid-19 terbukti uji klinik dan dapat memberikan manfaat yang diharapkan,” ujarnya.
Adapun menurut Praktisi Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan, Dr. Erlina Burhan mengatakan, obat herbal bukan merupakan obat utama yang dapat menyembuhkan penyakit korona. “Hanya sebagai tambahan untuk antioksidan dan imunomodulator,” kata dia.
Penulis: Dewi Purningsih