Jakarta (Greeners) – Hutan sebagai habitat orangutan terus terdegradasi akibat tata kelola yang tidak sesuai. Keberlangsungan hidup mereka pun kian terancam dan memicu timbulnya konflik dengan manusia.
Kepala Konservasi In-situ Yayasan Ekosistem Lestari, Julius Paolo Siregar mengatakan, hutan sudah tak lagi menjadi tempat yang aman bagi orangutan. Salah satu faktor yang memengaruhi terjadinya konflik, kata dia, adalah berkurangnya tempat tinggal orangutan. Hal tersebut kemudian berdampak terhadap minimnya ketersediaan makanan dan membuat mereka memasuki ladang serta perkampungan warga.
“Penyebabnya dikarenakan tata kelola hutan yang tidak diimplementasikan sesuai dengan regulasi dan ditambah lagi dengan peraturan yang masih tumpang tindih antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah sehingga dimanfaatkan untuk kepentingan-kepentingan lain,” ujarnya saat dihubungi Greeners melalui telepon, Rabu (09/09/2020).
Baca juga: Kota Besar di Dunia Andalkan Sepeda untuk Tangkal Pencemaran Udara
Julius menyebut bahwa konflik juga berkaitan dengan respons dari masyarakat yang kerap memberikan perlawanan saat bertemu hewan yang terancam punah ini. Keberadaan orangutan di ladang warga, kata dia, bukanlah hal baru. Ia menyebut sedari dulu nenek moyang manusia hidup berdampingan dengan orangutan, tetapi tak ada konflik karena berpegang pada nilai-nilai luhur.
“Berbeda dengan sekarang karena banyak pendatang dan tidak memiliki nilai yang sama pada akhirnya merasa dirugikan sehingga menimbulkan konflik,” ucapnya.
Ia menuturkan permasalahan lainnya adalah ketidakpahaman manusia mengenai siklus hidup dari satwa liar. Pada umumnya mereka memiliki siklus atau daerah jelajah sehingga tidak akan tinggal menetap di satu tempat terus menerus. Begitu juga dengan jenis primata ini, mereka akan mendatangi suatu tempat untuk menemukan makanan pada musim berbuah.
Dampak Konflik Terhadap Orangutan
Konflik yang terjadi antara manusia dan orangutan tak hanya meninggalkan dampak fisik bagi orangutan, tetapi juga secara mental. Dokter Hewan Yayasan Ekosistem Lestari-Sumatran Orangutan Conservation Programme (YEL-SOCP), Yenny Saraswati mengatakan imbas tersebut akan selalu membekas, meskipun tidak menimbulkan luka secara fisik.
“Seperti contoh, mereka (orangutan) melihat induknya ditembak saat keluar hutan untuk mencari makan. Itu dapat menimbulkan trauma tersendiri bagi mereka,” ujarnya saat dihubungi Greeners pada 3 September 2020.
Menurutnya luka fisik lebih mudah diobati, tetapi untuk memulihkan luka mental diperlukan waktu yang cukup panjang dan prosesnya bertahap. “Dalam mengobati orangutan yang trauma, memerlukan waktu lama karena perlu pendekatan yang berbeda. Biasanya orangutan yang sudah mengalami tekanan secara mental akan terserang sistem kekebalan tubuhnya. Hal ini yang cukup memakan waktu lantaran pendekatan tim medis untuk membuat orangutan tersebut merasa aman tidak mudah serta butuh perhatian lebih,” ujarnya.
Memperkenalkan Orangutan Ke Masyarakat
Aktivis lingkungan sekaligus penulis buku Before Too Late: Sumatera Forest Expedition, Regina Safri mengatakan, masyarakat khususnya yang tinggal di perbatasan hutan tak memahami peran dan pentingnya kehadiran orangutan di alam.
Ia menceritakan pengalamannya saat berbincang dengan salah satu anak muda yang merupakan pelaku penembak orangutan pada Maret 2019 lalu. “Ternyata anak tersebut tidak mengetahui alasan kenapa orangutan harus dilindungi,” ujar Regina dalam Webinar Upaya Penanganan Konflik Manusia dan Satwa Liar, awal September lalu.
Baca juga: Pemegang IPPKH Diwajibkan Merehabilitasi Daerah Aliran Sungai
Regina menuturkan, masyarakat yang tinggal berdampingan maupun yang berada di luar wilayah perlu diperkenalkan dengan primata untuk menciptakan rasa keterikatan kepada satwa-satwa liar.
“Bentuk lain mungkin bisa dijadikan kurikulum dalam mata pelajaran di sekolah atau mengajak partisipasi anak muda melalui duta orangutan atau yang lainnya. Intinya adalah melibatkan generasi muda,” kata dia.
Penulis: Maria Soterini
Editor: Devi Anggar Oktaviani