Jakarta (Greeners) – Temuan badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di Kutai Barat, Kalimantan Timur ternyata sudah dideteksi sejak tahun 2013. Direktur Komunikasi dan Advokasi WWF Indonesia Nyoman Iswarayoga mengatakan bahwa pada saat itu, tim survei orangutan WWF Indonesia tidak sengaja menangkap gambar badak sumatera di sana. Temuan ini akhirnya ditindaklanjuti dengan survei-survei lapangan untuk mengetahui populasi badak sumatera yang diperkirakan telah punah di Kalimantan tersebut.
“Pertama kali itu tim survei orangutan kita yang berhasil menangkap gambar jejak badak. Awalnya kita kira itu jejak tapir karena ada dua jejak di sana, namun tapir sendiri kan tidak ada di Kalimantan. Hingga akhirnya kita berhasil menangkap gambar badaknya dalam bentuk video di Kabupaten Kutai Barat,” cerita Nyoman saat dihubungi oleh Greeners, Jakarta, Sabtu (12/03).
Semenjak temuan itu, lanjutnya, WWF Indonesia terus melakukan survei untuk mengetahui kantong-kantong populasi badak yang ada di sana. Hingga akhirnya WWF menemukan satu kantong populasi yang menjadi habitat badak tersebut.
Hanya saja, kantong populasi badak itu terancam dengan pembukaan lahan untuk kepentingan perkebunan, hutan tanaman industri, pertambangan hingga aktivitas logging baik legal maupun ilegal. Oleh karena itu, WWF Indonesia mempertimbangkan untuk memindakan lokasi badak tersebut ke wilayah yang lebih aman khususnya dari praktek perburuan.
“Yang kita khawatirkan dari pembukaan lahan ini, populasi badak sumatera ini akan terancam karena badak ini masih menjadi salah satu target perburuan. Culanya masih menjadi incaran pasar gelap satwa liar,” katanya melanjutkan.
Terkait minimnya publikasi temuan badak sumatera itu, Nyoman menyatakan bahwa memang harus sedikit berhati-hati dalam membahas temuan satwa langka dilindungi ini. Menurutnya, jika informasi terkait temuan ini dipublikasikan secara teknis, dikhawatirkan akan mengundang aktivitas perburuan di kantong populasi badak tersebut.
Ditemui terpisah, Direktur Jendral Konservasi Sumberdaya Alam dan Ekosistemnya (KSDAE) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Tachrir Fathoni mengatakan bahwa temuan badak tersebut akan ditindaklanjuti dengan rencana pembangunan suaka yang menggunakan hutan lindung setempat. Hal ini sangat mendesak untuk dilakukan karena habitat badak sumatera semakin terancam punah.
Pembangunan suaka atau biasa disebut habitat semi-insitu buatan ini nantinya akan berbentuk Sumatran Rhino Sanctuary yang berada di Taman Nasional Way Kambas, Lampung. Kantong habitat badak ini sendiri, terusnya, berada di dekat area bekas tambang PT Kelian Equatorial Minning seluas 5.900 hektar yang telah berhenti beroperasi dan direklamasi.
Pembangunan sanctuary ini juga masih terkendala dana. Permasalahan utama dalam penanganan kawasan konservasi saat ini masih berkutat pada alokasi dana Pemerintah yang hanya USD3,4 per hektare per kawasan, jumlah yang kecil jika dibandingkan dengan pendanaan negara tetangga seperti Malaysia sebesar USD20 per hektare.
“Peningkatan pendanaan menjadi hal yang penting untuk dilakukan. Terutama setelah Pemerintah menargetkan untuk membangun 50 Suaka Alam (Sanctuary) untuk menangkar tumbuhan dan satwa liar (TSL) yang dilindungi dalam 5 tahun. Sementara untuk satu sanctuary dibutuhkan dana hingga Rp30 Miliar. Pembangunan yang paling mungkin dilakukan saat ini adalah di Kalimantan Timur untuk mengakomodir temuan 15 ekor badak sumatera (Dicerorhinus sumatrensis) di kawasan bekas tambang di Kelian itu,” tutupnya.
Penulis: Danny Kosasih