Pendidikan lingkungan hidup yang diberikan kepada anak usia dini memiliki peran yang sangat penting dalam membangun sensitivitas mereka terhadap permasalahan lingkungan. Pengetahuan yang mereka peroleh akan menjadi landasan bagi mereka sebagai generasi penerus untuk mengembangkan kebijakan pengelolaan lingkungan yang tepat dan berkelanjutan.
Jakarta (Greeners) – Potret permasalahan lingkungan di Indonesia saat ini kian kompleks. Menurut buku Tinjauan Lingkungan Hidup Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) 2023, pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo pada tahun 2015 hingga 2022, 90% bencana di Indonesia sebagian besar merupakan bencana ekologis.
Menurut Walhi, bencana ekologis merupakan akumulasi krisis ekologis yang disebabkan oleh ketidakadilan dan gagalnya sistem pengurusan alam. Hal itu mengakibatkan hancurnya daya dukung dan daya tampung lingkungan serta rusaknya ekosistem dan kehidupan rakyat.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan jumlah bencana di Indonesia setiap tahunnya didominasi oleh banjir, tanah longsor, dan cuaca ekstrem. Namun, pemerintah menyebutnya sebagai bencana hidrometeorologi.
Padahal, ada faktor lain yang memperparah bencana tersebut, seperti hadirnya perusahaan perkebunan seperti kelapa sawit, perkebunan kayu, pertambangan, serta migas. Aktivitas perusahaan tersebut telah melebihi daya dukung dan daya tampung lingkungan sehingga menimbulkan kerusakan ekosistem.
Selain itu, Indonesia juga masih menghadapi berbagai permasalahan lingkungan lainnya seperti deforestasi, buruknya kualitas udara, hilangnya biodiversitas, perubahan iklim, kerusakan lahan, dan ancaman sampah plastik.
Lingkungan hidup Indonesia yang semakin buruk itu juga disebabkan oleh tata kelola lingkungan hidup yang buruk, penegakan hukum yang lemah, dan solusi palsu dari pemerintah dengan mengedepankan investasi yang melibatkan korporasi.
Generasi mudalah yang kemudian akan bertanggung jawab atas segala kesalahan para pemimpin dalam mengelola lingkungan hidup. Mereka menggendong tugas yang berat untuk kembali memperbaiki tata kelola lingkungan menjadi lebih berkelanjutan di masa depan. Oleh karena itu, pengetahuan lingkungan hidup perlu ditumbukan kepada generasi penerus. Tanpa pengetahuan, pengelolaan lingkungan hidup yang berkelanjutan akan sulit untuk diwujudkan.
Generasi Penerus Menanggung Beban Kerusakan Ekologis
Generasi Z yang lahir sekitar pertengahan 1990 hingga awal tahun 2010 dan generasi alpha sebagai generasi yang lahir setelah tahun 2010, akan menjadi generasi yang berperan penting sebagai pengelola kebijakan di masa depan. Namun, di sisi lain mereka juga akan menjadi generasi yang merasakan dampak dari fenomena-fenomena alam yang sudah di ambang kehancuran.
Direktur Eksekutif Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), David Sutasurya mengatakan, generasi Z dan alpha mau tak mau harus hidup berdampingan dalam kondisi ekologis yang lebih sulit. Pada saat yang sama, mereka juga harus melakukan restorasi ekologis yang lebih menantang akibat kegagalan generasi sebelumnya dalam mencegah kerusakan ekologis bumi.
“Mereka diharapkan dapat memahami beratnya tantangan ekologis yang dihadapinya, bukan untuk menjadi frustarsi atau bahkan depresi, tetapi untuk lebih memahami urgensi upaya-upaya transformatif. Sehingga, mereka termotivasi untuk melakukan inovasi-inovasi mengembangkan sistem hidup yang sama sekali baru. Meniru cara hidup generasi sebelumnya, terlebih generasi boomers, sama sekali bukanlah pilihan mereka.”
David juga mengingatkan tanggung jawab dari generasi X dan milenial. Mereka harus bekerja sama untuk melakukan upaya terbaik mencegah kerusakan ekologis bumi yang lebih parah. Generasi tersebut harus memulai upaya inovasi untuk mengembangkan infrastruktur dan pengetahuan yang dapat mereka wariskan kepada generasi alpha dan generasi Z.
“Generasi X dan milenial berperan penting memutus budaya materialistik dan membangun jembatan menuju peradaban baru yang lebih layak dihidupi generasi setelah mereka,” ucap David.
Pentingnya Bekali Generasi Muda tentang Lingkungan
Generasi muda sebagai generasi penerus bangsa yang berperan penting dalam mengatur kebijakan di masa yang akan datang, perlu dibekali tentang pengetahuan lingkungan hidup. Mereka juga harus mulai untuk menerapkan gaya hidup ramah lingkungan.
David mengatakan, generasi saat ini akan menghadapi tantangan hidup yang lebih sulit akibat kerusakan ekologis yang diperkirakan semakin parah.
“Misalnya, harapan untuk menjaga suhu bumi tidak naik di atas 1,5 derajat Celsius semakin menipis. Generasi masa datang perlu siap beradaptasi dengan perubahan iklim dan dampak lingkungannya. Mereka perlu melakukan upaya-upaya transformatif untuk mencegah kerusakan lingkungan yang lebih parah,” ujar David.
Menurut David, langkah transformatif sangat dibutuhkan. Sebab, setiap keterlambatan upaya mitigasi perubahan iklim akan menciptakan kebutuhan upaya yang lebih berat untuk mengejar keterlambatan yang telah terjadi.
“Generasi sebelum ini secara kolektif telah mewariskan tantangan hidup yang jauh lebih berat, karena terlambat melakukan upaya-upaya yang memadai untuk mencegah perubahan iklim dan bentuk-bentuk kerusakan alam lainnya.”
Generasi Muda Perlu Ketahui Permasalahan Lingkungan
Menurut David, generasi muda adalah masa depan. Mereka yang akan mewarisi dan mengelola planet ini. Generasi muda perlu mengetahui tentang permasalahan lingkungan hidup supaya dapat memahami tantangan yang mereka hadapi dan bertindak menyelesaikannya.
Selanjutnya, pengetahuan tentang lingkungan juga dapat meningkatkan sensitivitas mereka. Dengan memahami bagaimana tindakan manusia berdampak pada lingkungan, lanjut David, generasi muda dapat menjadi lebih sadar akan pilihan mereka dan bagaimana pilihan tersebut dapat berdampak pada planet ini.
Bagi David, pengetahuan tentang lingkungan juga dapat membantu generasi muda menciptakan solusi yang tepat. Dengan memahami akar permasalahan lingkungan, mereka dapat mengembangkan solusi yang inovatif dan berkelanjutan.
Generasi Muda Harus Mampu Beradaptasi
Dalam membekali generasi muda tentang lingkungan, David menekankan dua poin utama, yakni generasi muda harus mampu untuk beradaptasi dengan perubahan iklim dan membangun kualitas hidup sebaik mungkin.
“Misalnya, sumber daya alam yang semakin menipis, baik karena eksploitasi berlebihan maupun perubahan iklim, membuat generasi mendatang harus dapat hidup dengan pemanfaatan sumber daya alam yang jauh lebih efisien dari generasi sekarang,” tambah David.
Generasi muda juga harus mampu untuk melakukan restorasi ekologis secara global maupun lokal. Misalnya, menghasilkan pangan dan mendapatkan kebutuhan hidup lainnya sekaligus memperbaiki ekosistem lokal.
Apalagi, lanjut David, saat ini telah berkembang teknik permakultur. Contohnya, memanfaatkan hasil hutan sekaligus meningkatkan kualitas keragaman hayatinya serta meningkatkan luasan hutan alami.
Sementara itu, generasi saat ini juga penting memiliki pengetahuan lingkungan secara luas supaya bisa mengelola lingkungan secara benar dan berkelanjutan di masa depan. Mereka perlu memahami prinsip-prinsip ekologis, perubahan iklim, dan isu lingkungan lainnya.
Keterampilan berpikir kritis juga harus generasi muda miliki. Keterampilan itu bisa mendorong anak muda untuk mampu menganalisis informasi, memecahkan masalah, dan membuat keputusan yang tepat terkait lingkungan.
“Anak muda tak perlu segan untuk memimpin dan mengambil tindakan untuk melindungi lingkungan. Generasi muda harus memiliki rasa tanggung jawab terhadap lingkungan dan berkomitmen untuk melindungi planet ini.”
Anak Harus Mendapatkan Pendidikan Lewat Aksi Positif
Sementara itu, pembekalan ilmu pengetahuan untuk membangun sensitivitas atau kepekaan terhadap lingkungan perlu ditanamkan dari jenjang pendidikan usia dini. Anak usia dini perlu mengetahui bahwa mereka hidup di dunia yang rentan terhadap perubahan dan tindakan mereka dapat memengaruhi lingkungan.
Pendidikan lingkungan yang diberikan kepada anak-anak juga bisa membantu mereka untuk memiliki mindset dan kebiasaan positif yang ramah lingkungan. Mulai dari contoh kecil, anak bisa diajarkan tentang penghematan air, penggunaan energi yang efisien, dan pengurangan sampah. Kebiasaan ini, jika mereka terapkan sejak dini, dapat menjadi bagian alami dari gaya hidup mereka di masa dewasa.
Seorang Guru Bahasa Indonesia di SMP Negeri 55 Kota Bandung, Rahmat Suprihat mengatakan anak-anak harus diberi kesadaran bahwa dirinya merupakan bagian kecil dari ekosistem alam semesta.
“Maka dari itu, saat dunia hadir dalam kondisi yang tidak baik, secara tidak langsung mereka yang akan merasakan dampaknya. Contohnya, pemanasan global yang sudah kita rasakan saat ini. Jadi, ketika mereka tidak memiliki sensitivitas atau tidak peka terhadap lingkungan, ya, tentu akhirnya itu akan menimbulkan masalah negatif bagi alam,” ungkap Rahmat.
Rahmat menegaskan bahwa anak-anak harus mendapatkan pendidikan lewat aksi-aksi positif terhadap lingkungan. Mereka harus memiliki sebuah informasi hingga melakukan tindakan positif, supaya mereka memiliki rasa kepedulian yang berpengaruh positif untuk lingkungan.
Anak Perlu Mendapatkan Banyak Dukungan
Rahmat mengungkapkan, dalam mendidik anak, untuk bisa memiliki kepekaan terhadap sosial dan lingkungan perlu banyak dukungan dari berbagai pihak.
Seorang anak tidak bisa dilatih menjadi pribadi yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap sosial dan lingkungan tanpa adanya dukungan dari orang tua, sekolah, dan komunitas. Anak perlu mendapatkan banyak ruang untuk melatih dirinya cinta terhadap lingkungan. Apabila mereka hanya sekadar mendapatkan materi tanpa praktik, pertumbuhan karakteristik yang peduli lingkungan bagi anak akan sulit terwujud.
Apalagi, tantangan di kalangan anak-anak semakin kompleks. Mereka kini tumbuh beriringan dengan teknologi yang kian canggih. Pesatnya kecanggihan itu menjadi penghalang bagi anak untuk bisa mengikuti aksi-aksi sosial dan lingkungan.
Salah satu faktor penghambat yaitu hadirnya penggunaan gadget. Berdasarkan pengamatan Rahmat, kalangan anak-anak kini cenderung kecanduan gadget. Kehadiran gadget telah menimbulkan berbagai dampak negatif bagi anak. Kini, kebanyakan anak-anak lebih memilih untuk fokus di depan layar daripada melakukan aktivitas positif lainnya.
“Gadget itu sudah menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dari aktivitas mereka. Akibat dari kecenderungan anak menggunakan gadget dan menggunakannya untuk main game, maka tingkat kepedulian anak terhadap isu-isu berhubungan dengan lingkungan itu semakin menurun.”
Rahmat menambahkan, pengawasan orang tua terhadap penggunaan gadget masih minim. Mereka masih menganggap bahwa menuruti anak untuk bermain gadget adalah tanda kasih sayang, tetapi perlakuan tersebut justru telah menimbulkan rasa malas pada anak mereka.
“Orang tua menganggap bahwa handphone itu adalah sebuah kebutuhan ruang pendidikan. Apalagi, pada beberapa tahun lalu ada pandemi, di mana pembelajaran itu masuk ke daring. Kemudian, pembelajarannya kembali ke luring, tetapi handphone itu justru telah meracuni mereka,” ungkap Rahmat.
Gadget Timbulkan Dampak Negatif
Berdasarkan penelitian “Dampak Penggunaan Gadget pada Kesehatan Mental dan Motivasi Belajar Siswa di Sekolah” pada Journal on Education, penggunaan gadget yang berlebihan dapat berdampak negatif pada kesehatan mental dan motivasi belajar siswa di sekolah.
Beberapa dampak negatif kecanduan gadget yaitu kurangnya interaksi sosial, kurangnya aktivitas fisik, gangguan tidur, dan stres. Dampak negatif tersebut dapat mempengaruhi kesehatan mental siswa, seperti penurunan konsentrasi, peningkatan kecemasan dan depresi, serta menurunnya tingkat kebahagiaan.
Selain itu, penggunaan gadget yang berlebihan juga dapat menurunkan motivasi belajar siswa karena seringkali siswa lebih tertarik pada gadget dibandingkan kegiatan belajar. Oleh karena itu, orang tua dan guru harus memantau dan membatasi penggunaan gadget pada siswa. Mereka perlu memberikan alternatif kegiatan yang dapat meningkatkan kesehatan mental dan motivasi belajar siswa.
Peneliti mengatakan siswa dapat diajak berinteraksi sosial dengan teman sebayanya, melakukan aktivitas fisik seperti olahraga, dan memperkaya pengetahuannya dengan membaca buku, atau mengikuti kegiatan ekstrakurikuler yang sesuai dengan minat siswa.
Sekolah Perlu Membatasi Penggunaan Gadget
Fenomena kecanduan gadget oleh anak bagaikan sebuah mimpi buruk bagi bangsa ini. Generasi yang kerap disebut “generasi nunduk” ini apabila terus dibiarkan tentu bisa menimbulkan dampak negatif yang akan terus berlanjut.
Namun, kecanduan gadget pada anak bukan sepenuhnya kesalahan pada anak. Orang tua justru perlu bertanggung jawab untuk bisa membimbing anak supaya tidak terjerat dalam keasyikan pada layar gadget. Orang tua perlu menuntun anaknya lepas dari kecanduan gadget dan memberikan kegiatan alternatif untuk anak.
Begitu pula pihak sekolah bertanggung jawab besar terhadap pertumbuhan karakteristik anak. Bagi Rahmat, sekolah harus memiliki peraturan yang ketat untuk melarang anak menggunakan gadget saat sekolah.
“Mayoritas siswa yang membawa handphone di kelas, kalau sedang tidak ada guru atau tidak ada tugas, mereka justru cenderung bermain games di handphone-nya. Saya mengakui bahwa hal ini sangat berdampak terhadap kepekaan sosial dan lingkungan dari peserta didik. Hadirnya gadget yang terus-menerus mereka gunakan akan menimbulkan sikap tidak peka terhadap sekelilingnya.”
Rahmat menegaskan, tugas pihak sekolah adalah sebagai sebuah sistem yang memiliki kapasitas dan otoritas bagaimana untuk melahirkan anak memiliki karakter yang baik. Maka dari itu, sekolah perlu membatasi penggunaan handphone oleh siswa. Apabila aturan itu sekolah kuatkan, tentu akan memberikan dampak positif bagi mereka.
Sekolah Penting untuk Memantau Siswa
Selain itu, pihak sekolah juga bisa mewajibkan siswa untuk mengikuti ekstrakurikuler atau kegiatan di luar mata pelajaran wajib. Ekstrakurikuler itu juga perlu sekolah pantau secara serius supaya perkembangan siswa mudah untuk dikontrol.
Bagi Rahmat, memantau siswa di sekolah sangatlah penting. Maka dari itu, sekolah sebaiknya memiliki sistem monitoring supaya para siswa yang mengikuti ekstrakurikuler bisa terus terpantau aktivitasnya, mulai dari kehadiran hingga keaktifannya.
“Sekolah perlu segera menggerakkan kepedulian lingkungan dalam bentuk aktivitas seperti memilah sampah, bersepeda, hingga menanam. Kepala sekolah pun harus tergerak untuk melakukan kegiatan dalam melestarikan lingkungan. Apabila gerakan-gerakan pelestarian lingkungan menjadi bagian dari program sekolah, tentu anak-anak juga akan cinta terhadap kegiatan lingkungan. Kepala sekolah punya peranan strategis untuk menggelorakan gerakan baik untuk mendorong anak memiliki sensitivitas terhadap permasalahan lingkungan.”
Dengan pemantauan itu, sekolah dapat memiliki laporan berbasis fakta yang dapat mereka laporkan ke orang tua. Apabila anak itu masih belum konsisten dalam melakukan ekstrakurikuler, sekolah dan orang tua pun mudah untuk mencari jalan keluar.
“Jadi mereka tidak memiliki ruang untuk tidak aktif karena ruang geraknya terpantau selalu,” tegas Rahmat.
Sistem pemantauan juga berguna untuk mengukur bagaimana keaktifan siswa dalam menerima materi, hingga melakukan praktik saat mereka menjalankan ekstrakurikuler tersebut. Apabila sistem ini dapat berjalan secara efektif, tentu mendorong siswa untuk patuh mengikuti ekstrakurikuler. Sehingga, mereka bisa melakukan kegiatan dengan konsisten, alhasil ilmu serta praktik-praktik dalam ekstrakurikuler bisa mereka serap hingga memberikan pengaruh baik untuk dirinya.
Cetak Generasi Berkeringat dengan Kayuh Sepeda
Rahmat sebagai seorang pendidik asal kota kembang ini, juga terus bertekad untuk menciptakan generasi yang memiliki kepekaan terhadap sosial dan lingkungan yang tinggi. Selain mengajar di dalam kelas, ia pun menularkan semangat anak didiknya menjadi “generasi berkeringat”.
Pria 53 tahun ini menyalurkan semangat anak didiknya menjadi “generasi berkeringat” dengan bersepeda dan berjalan kaki. Sampai saat ini, berbekal semangat dan pengalaman, Rahmat terus membumikan gerakan bersepeda di kalangan pelajar.
“Generasi berkeringat” yang dibentuk Rahmat adalah sebuah bentuk generasi yang mau menggerakkan dirinya terhadap sebuah kegiatan baik. Sebab, melalui bersepeda dan jalan kaki terdapat nilai baik untuk diri sendiri dan alam semesta.
Rahmat pun terus mendorong anak muda menjadi “generasi berkeringat”, supaya mereka menjadi sosok yang mau meluangkan waktu untuk bergerak tanpa mengeluarkan emisi.
Rahmat punya alasan kuat hingga kini terus menggencarkan gerakan sepeda kepada anak-anak. Banyak nilai-nilai positif di dalamnya yang membantu mengembangkan pertumbuhan karakter anak. Kedisiplinan, kefokusan, dan ketelitian akan terbangun melalui kegiatan bersepeda.
Upayanya menciptakan “generasi berkeringat” bukan tanpa tantangan. Perkembangan zaman menghasilkan teknologi digital yang berdampak di kalangan pelajar. Sebagian besar dari mereka kini memilih bermain media sosial pada waktu luangnya. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi Rahmat sebagai sosok yang mendorong generasi muda untuk lebih giat bersepeda.
“Pertama, kemajuan teknologi ini menjadi sebuah anugerah, kedua sebagai tantangan. Karena, pada kenyataannya para generasi penerus kecanduan pada games dan media sosial sehingga mereka telah menjadi kekhawatiran banyak pihak,” ungkap Rahmat.
Ia berpandangan, media sosial membuat anak terbiasa hidup santai dan kecanduan di dalamnya. Ini tantangan bagi guru untuk mendorong para siswa tidak tunduk pada media sosial. Mereka perlu mengayuh pedal menjadi “generasi berkeringat”.
Pentingnya Kenalkan Lingkungan kepada Anak Usia Dini
Canggihnya teknologi pada era modern ini sering kali membawa perubahan nilai dan budaya dalam masyarakat. Anak-anak mungkin terpapar pada perspektif yang lebih beragam dan kompleks tentang identitas, nilai-nilai, dan hubungan sosial.
David pun mengatakan bahwa pendidikan sejak dini berperan dalam proses pembiasaan cara hidup dan cara pikir baru. Sehingga, generasi mendatang akan lebih mudah membangun kompetensi, menghadapi tantangan alam yang lebih sulit sekaligus memperbaiki kondisi ekologis lokal dan global.
Pendidikan sejak dini yang menyelaraskan dengan kegiatan lingkungan sangat penting untuk orang tua lakukan. Hal itu dapat membantu anak mengembangkan kecintaan terhadap alam, meningkatkan kesadaran anak-anak tentang masalah lingkungan, dan mendorong anak-anak mengambil tindakan untuk ikut melestarikan lingkungan.
Kendati demikian, orang tua pun perlu jeli dalam memilih tempat dan ruang anak untuk bertumbuh. Pemilihan sekolah tempat anak menimba ilmu dan belajar juga perlu menjadi pertimbangan bagi orang tua.
Sekolah menjadi tempat yang akan ikut serta dalam membangun karakter dan kebiasaan anak. Begitu juga dalam usaha membangun kebiasaan dan membentuk pikiran anak, untuk memiliki kepekaan terhadap sosial serta lingkungan harus dibangun dari tempat di mana ia belajar.
Kini, berbagai rumah belajar atau sekolah yang memiliki pendekatan pendidikan yang berfokus pada pembelajaran di alam terbuka atau lingkungan, bisa menjadi pilihan bagi para orang tua. Konsep dari tempat belajar ini akan banyak melibatkan anak di alam bebas. Sehingga, anak bukan hanya menerima teori di dalam kelas, tetapi ada banyak praktik dan ilmu-ilmu tentang kehidupan yang akan diajarkan dalam konsep pendidikan ini.
Rumah Belajar Ummasa Dekatkan Anak dengan Alam
Rumah Belajar Ummasa merupakan sebuah wadah dari gerakan pendidikan berbasis komunitas di Bandung. Rumah belajar tersebut memiliki prinsip-prinsip pendidikan yang mengajak anak untuk menjalani kehidupan yang fitrah dan melibatkan anak untuk lebih dekat kepada alam.
Kehidupan fitrah merujuk pada keadaan alamiah atau fitrah manusia yang asli sesuai dengan rancangan atau kehendak Tuhan. Dalam konteks Islam, konsep kehidupan fitrah mengajarkan bahwa manusia lahir dalam keadaan fitrah yang bersih dan lurus, dengan naluri alami untuk mengenal Tuhan.
Namun, faktor-faktor eksternal seperti lingkungan dan pengaruh sosial dapat mempengaruhi atau menyimpang dari kehidupan fitrah tersebut. Oleh karena itu, penting bagi manusia untuk terus berupaya menjaga dan memperkuat fitrahnya melalui pengembangan spiritualitas, moralitas, dan keseimbangan hidup yang sehat.
Koordinator Fasilitator Rumah Belajar Ummasa, Arry Syakir Gifari mengatakan bahwa kehidupan yang berjalan saat ini banyak yang tercabut dari fitrahnya. Fenomena sosial juga terlihat begitu kontras telah menimbulkan banyak kerusakan pada bumi ini.
Setelah mengamati banyaknya fenomena tersebut, Arry bersama rekan-rekannya pun sepakat untuk membangun Rumah Belajar Ummasa sebagai solusi dalam mengatasi permasalahan yang ada lewat gerakan pendidikan untuk anak-anak.
“Pada dasarnya ,dari pengamatan fenomena-fenomena mengapa ada kecenderungan sangat kuat untuk menjauhkan kehidupan yang fitrah? Maka dari itu, Ummasa ingin menularkan kesadaran itu ke anak. Harapannya supaya anak sejak usia dini sudah diasah kesadarannya. Semoga mereka menjadi pengampu kebaikan di masa depan,” ucap Arry.
Sekolah ini menghargai peran penting orang tua dalam pendidikan anak-anak. Mereka berupaya untuk melibatkan orang tua dalam proses pembelajaran dan mendukung perkembangan anak secara menyeluruh.
“Bukan hanya tentang anaknya, kami juga merangkul keluarga untuk bersepakat tentang haluan pembelajaran kami. Di sini ada dua ranah edukasi, yaitu ke anak dan ke orang tua. Keduanya akan saling terlibat dalam proses pembelajaran ini.“
Pembelajaran Erat dengan Alam
Ummasa juga memiliki kaidah pendidikan atau ‘kurikulum kehidupan’ yaitu, Kurikulum Kafahulfitrah (kafah: holistik, utuh-menyeluruh, fitrah: sesuai yang dititahkan/kehendaki Allah). Pada kurikulum tersebut, fasilitator lebih banyak mengajarkan anak-anak untuk mempelajari banyak hal dari kehidupan sehari-harinya. Mereka bisa belajar bagaimana menghargai keindahan alam dan mengembangkan rasa cinta, serta tanggung jawab terhadap lingkungan.
Rumah belajar ini juga mengadopsi pendekatan pendidikan holistik yang meliputi pengembangan spiritual, intelektual, emosional, dan fisik anak. Hal ini bertujuan untuk menghasilkan individu yang seimbang dalam semua aspek kehidupan.
Pembelajaran di sini juga berkaitan erat dengan alam. Anak tidak ditekan untuk bisa mahir dalam sesuatu seperti membaca dan menghitung dengan cepat, tetapi mereka justru lebih banyak diajak untuk mengenali kehidupan di lingkungan sekitarnya.
Ajarkan Rasa Syukur
Dalam setiap pembelajaran, tim kurikulum Rumah Belajar Ummasa juga membuat tema belajar yang menarik bagi anak-anak. Tema tersebut begitu lekat dengan aspek kehidupan yang mereka jalani setiap hari.
Taufanny Nugraha, salah seorang dari tim Penelitian dan Pengembangan (Litbang) Rumah Belajar Ummasa, turut mengembangkan kurikulum kehidupan yang diterapkan kepada anak-anak. Kurikulum yang telah mereka rancang pun sesuai dengan aspek-aspek kehidupan.
Salah satu contohnya, pembelajaran yang mereka berikan yaitu bertema ‘Jamuan Syukur Nikmat’. Pada tema tersebut, mereka mengajari anak-anak bagaimana cara mensyukuri makanan.
Dalam kegiatan ini, mereka mengajak anak untuk berkegiatan menanam, mengolah hasil kebun, kemudian mereka akan memasak dan makan bersama dari hasil kebun tersebut. Fasilitator juga mengajarkan pengolahan sampah sisa bekas bahan makanan.
Kemudian, pada tema olah rasa ‘Fitrah Anugerah Inderawi’, para fasilitator mengenalkan makanan-makanan baik atau alamiah kepada anak-anak. Mereka mengajarkan bagaimana makanan itu perlu disajikan dengan sederhana saja sambil menanamkan adab-adabnya. Sebab, yang terpenting adalah nutrisi dalam makanannya, serta keberkahan dari setiap makanan yang di santap.
“Berbicara tentang fitrah, sebenarnya kita berinteraksi dengan alam. Perspektif yang paling penting ditumbuhkan dalam anak adalah bagaimana mereka tahu bahwa lingkungan adalah bagian dari diri mereka sendiri. Bahkan, Allah hadirkan lingkungan ini yaitu untuk dijaga. Mereka perlu mensyukuri apa yang sudah ada dan tidak merusaknya.”
Dorong Anak Memiliki Empati
Di sisi lain, Ummasa juga mendorong anak-anak untuk memiliki empati terhadap masyarakat. Salah satu cara yang mereka lakukan yaitu mengajak anak-anak untuk berkunjung ke rumah salah satu pasangan suami istri yang usianya sudah lanjut usia. Dari kunjungan tersebut, anak-anak belajar banyak hal mulai dari membangun rasa empati, melihat semangat dari kakek nenek, belajar tentang kesederhanaan, dan nilai-nilai kehidupan lainnya yang bisa anak terapkan.
“Anak-anak bisa melihat bahwa ada kakek nenek yang masih semangat bekerja di kebun. Kemudian, mereka melihat kesederhanaan kakek nenek yang begitu bahagia. Kondisi kakek ini tunarungu dan tidak bisa berbicara normal, namun asyik saat berinteraksi. Nah interaksi yang seperti itu yang kita harapkan bisa meresap ke anak-anak bahwa nilai kehidupan itu bukan hanya tentang materi. Mereka bisa melihat bagaimana rasa syukur kakek nenek ini dengan rumahnya yang sederhana, makan ala kadarnya tanpa rasa malu,” jelas Arry.
Arry menganggap bahwa Rumah Belajar Ummasa menjadi tempat penjaga ruang kesadaran bagi anak pada zaman yang kian pesat ini. Mereka terus memegang teguh sebagai ruang pendidikan yang menjaga nilai-nilai baik. Ummasa juga terus mendorong orang tua untuk sama-sama mendukung anak untuk terlibat dalam kegiatan-kegiatan yang baik.
Secara keseluruhan, pengalaman sekolah dengan konsep yang mendekatkan anak pada lingkungan ini, akan memberikan anak-anak perspektif yang luas tentang dunia dan diri mereka sendiri. Mereka tidak hanya mendapatkan pengetahuan akademis, tetapi juga tentang nilai-nilai keberlanjutan dan koneksi yang kuat dengan alam dan masyarakat sekitar.
Ekologis Menjadi Bagian Penting
Aktivis sekaligus guru seperti Rahmat telah memberikan harapan baru bagi anak-anak negeri ini. Gerakan yang ia ciptakan telah mendorong anak untuk lepas dari kecanduan gadget dan mendorong anak terlibat dalam aktivitas bermanfaat seperti bersepeda.
Negeri ini menunggu lebih banyak aktivis dan guru seperti itu muncul. Semangatnya dalam mendorong kegiatan peduli lingkungan kepada anak-anak tak pernah pudar. Biarlah tokoh-tokoh seperti itu menjadi pahlawan yang menumbuhkan sensitivitas anak terhadap lingkungan dan masyarakat.
Bagi Rahmat, ketika anak-anak menjadi generasi yang sadar terhadap permasalahan lingkungan dan menjadi masyarakat penuh solusi, nantinya ketika mereka kelak menjadi seorang pemimpin, mereka punya sebuah strategis bagaimana mengatasi permasalahan lingkungan ini. Kemudian, mereka pun akan melakukan berbagai langkah sebagai pemegang tongkat estafet pembangunan di masa yang akan datang.
“Kecerdasan ekologis menjadi bagian yang tidak boleh dipisahkan dari kecerdasan yang lainnya. Sebab, dengan kecerdasan ekologis maka peserta didik yang notabene sebagai generasi penerus akan memiliki rasa memiliki dan kepekaan terhadap lingkungan untuk keberlangsungan dan keberlanjutan kehidupan bagi mereka di masa depan.”
Selanjutnya, ruang belajar seperti Rumah Belajar Ummasa juga menjadi salah satu contoh bahwa ada tempat belajar yang memberikan ruang kepada anak untuk bisa peduli dengan lingkungan. Konsep belajar yang Ummasa kembangkan bisa mendidik anak lebih paham arti dari kehidupan dan menumbuhkan toleransi yang besar terhadap lingkungan dan sosial.
Arry berharap, lewat gerakan pendidikan ini anak-anak bisa mengenal diri mereka sendiri. Sehingga, mereka bisa mengambil peran yang tepat dalam kehidupannya dengan penuh kesadaran.
“Dengan bekal yang sudah dipupuk sejak usia dini, bisa membawa mereka dalam mengambil langkah yang tepat dan sesuai. Akhirnya, mereka pun bisa berkontribusi secara maslahat,” ucapnya.
Penulis: Dini Jembar Wardani
Editor: Indiana Malia