Nusa Dua (Greeners) – Lebih dari 95 persen pergerakan ekonomi global berasal dari daratan. Padahal, 70 persen wilayah bumi ini diisi oleh perairan atau lautan. Dengan besarnya peluang ekonomi di wilayah perairan tersebut, maka sudah tentu dibutuhkan pula tanggung jawab yang besar dalam pengelolaan lingkungannya. Terlebih, tantangan masalah persampahan di laut pun telah menjadi isu yang mendunia.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Indonesia Luhut Binsar Panjaitan menerangkan, Indonesia sebagai negara kepulauan yang memiliki lebih dari 17.000 pulau, telah memberikan perhatian yang cukup besar pada isu kelautan. Beberapa komitmen tersebut seperti penanggulangan penangkapan ikan berlebihan dan penanganan illegal fishing. Penanganan sampah plastik dan pencanangan program edukasi tentang kelautan.
“Edukasi ini penting sekali karena tanpa edukasi, masalah di laut tidak akan dikenali atau bahkan tidak mungkin diselesaikan. Apalagi untuk bisa mengerti tentang lingkungan, tentu harus tahu dahulu apa itu lingkungan. Ini untuk mencegah dampak kerusakan yang lebih parah. Terakhir itu fokus kita di kelautan ini adalah pembangunan infrastruktur dan tentunya pariwisata,” jelasnya saat ditemui usai menghadiri acara World Ocean Summit 2017 di Nusa Dua, Bali, Kamis (23/02).
BACA JUGA: Jusuf Kalla: Pembangunan Maritim Indonesia Perlu Konektivitas
Luhut juga menyatakan bahwa agenda pertumbuhan ekonomi harus sejalan dengan konservasi lingkungan. Investasi bidang kelautan juga yang berkelanjutan. Apalagi, katanya, Indonesia saat ini sudah sangat sadar akan tanggung jawab lingkungan. Selain itu, karena Indonesia merupakan negara yang sangat luas dengan gugusan pulaunya, maka program pembangunan infrastruktur menjadi konsentrasi utama.
“Jadi kita coba dengan infrastrukturnya, kita bangun seperti tol laut untuk memperkuat ekonomi kita. Tapi pada saat yang sama, pertumbuhan ekonomi kita tumbuh dengan cukup bagus,” lanjutnya.
Lain Indonesia, lain pula dengan Bangladesh. Anwar Hossein Manju, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Bangladesh mengatakan, data dan fakta telah menunjukkan kalau laut dunia bermasalah. Sedangkan jika berbicara tentang pertumbuhan ekonomi dan pelestarian lingkungan, ia mengakui hal ini memang harus berjalan seimbang.
BACA JUGA: Pasca Moratorium Cantrang, Pemerintah Masih Lemah Melindungi Nelayan Kecil
Bangladesh sendiri telah membentuk komite nasional tentang perubahan iklim dan turut aktif dalam perundingan Conference of the Party/United Nations for Climate Change Conference (UNFCCC). Melalui perundingan ini, ia sangat berharap bahwa masalah perubahan iklim, khususnya blue carbon yang bersumber dari laut bisa menjadi perhatian semua pihak baik negara maju maupun negara berkembang.
“World Ocean Summit 2017 ini sangat penting bagi Bangladesh dan saya setuju kalau harus ada pertumbuhan yang seimbang. Tapi disaat bersamaan, kita tidak bisa menghiraukan dampaknya. Itu kenapa kita membuat banyak regulasi yang mendukung kedua hal ini. Segera kita akan menyadari bagaimana pentingnya kedua hal tersebut bagi dunia kita,” tuturnya.
Ana Paula Vitorino, Menteri Kelautan Portugal memiliki perspektif lain tentang isu kelautan. Menurutnya, dengan menggunakan perspektif dari generasi muda, isu kelautan baik ekonomi, konservasi maupun permasalahan sampah akan lebih menarik. Ia meyakini, era internet di mana konektifitas berjalan dengan cepat, pemerintah tidak bisa lagi memaksakan pendekatan isu kelautan secara konservatif pada masyarakat.
“Kami tidak hanya bicara tentang over fishing, tentang sampah laut, tapi kami juga bicara soal budaya tradisional, energi seperti Liquid Natural Gas (LNG) dan banyak lagi. Kami juga mempersiapkan negara kami untuk menjalankan program edukasi kelautan seperti Ocean Literacy karena dunia industri pun harus berubah arahnya. Lihat sektor transportasi, mereka pun bahkan sudah melirik sektor perairan,” kata Ana Paula.
BACA JUGA: Implementasi Poros Maritim, Kesejahteraan Nelayan Masih Terpinggirkan
Sebagai informasi, The Economist World Ocean Summit adalah pertemuan global yang membahas permasalahan di laut. Pertemuan ini diikuti lebih dari 300 peserta dari 58 negara, termasuk menteri dari negara-negara kelautan, investor, para pemimpin bisnis global, generasi-generasi muda yang fokus pada isu kelautan, organisasi sipil dan komunitas ilmiah untuk melakukan dialog konstruktif dan solutif yang berfokus pada bagaimana perekonomian kelautan (blue economy) bisa berjalan.
World Ocean Summit 2017 diselenggarakan oleh majalah The Economist di Sofitel Bali, Nusa Dua, Bali. Acara diselenggarakan pada tanggal 22 hingga 24 Februari 2017.
Penulis: Danny Kosasih